Berpuasa Menebar Kasih Sayang
Maidât al-Rahmân. Istilah ini amat populer bagi masyarakat Muslim, khususnya di bulan Ramadhan. Di dunia Arab, istilah itu diartikan sebagai hidangan yang diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang menunaikan ibadah puasa. Bila azan magrib dikumandangkan, masyarakat Muslim berbondong-bondong guna menyantap hidangan itu, buka puasa. Pemandangan seperti ini juga ada di pelbagai masjid di Tanah Air, khususnya Masjid Istiqlal dan pelbagai masjid raya di kota-kota besar. Spirit kasih sayang
Tentu saja, tradisi itu merupakan salah satu khazanah kebaikan di bulan Ramadhan, yang mungkin sulit ditemukan di bulan-bulan lainnya. Bagi masyarakat Muslim, ibadah puasa mempunyai magnet tersendiri untuk menggugah kesadaran filantropis. Yaitu kesadaran untuk menderma dan menyalurkan bantuan bagi mereka yang tidak mampu, fakir miskin dan anak yatim. Ada spirit kasih sayang dalam puasa.
Di sini, keistimewaan bulan puasa terpancar, menembus relung hati yang terdalam sembari menggugah kesadaran primordial setiap insan.
Berpuasa tak semata-mata menahan dahaga dan lapar, tetapi juga merupakan refleksi teologis untuk membumikan amal saleh dan kasih sayang dalam tindak laku. Karena itu, puasa yang mulanya merupakan implementasi dari rukun agama semata, kemudian menjadi sebuah laku sosial yang sangat konstruktif.
Perbedaan bulan puasa dengan bulan-bulan lain tercermin pada logika keberagamaan yang perlu mendapat perhatian. Bila pada bulan-bulan selain Ramadhan, masyarakat umumnya disibukkan dengan urusan mengumpulkan harta benda, memperkaya diri, bahkan korupsi secara berkelompok, tetapi pada bulan puasa ada jeda untuk melakukan refleksi diri (muhâsabah). Stop keserakahan dan korupsi!
Selama sebulan penuh, umat Muslim merasakan dahaga dan lapar secara bersama, apa pun status sosial dan jabatannya. Kiai, ulama, umat, bahkan mereka yang mendapat amanat jabatan publik juga harus melakukan ibadah puasa.
Karena itu, puasa dapat menjadi landasan pacu untuk membangkitkan gairah dan spirit kebajikan umum. Apa pun jabatan dan status sosial, tatkala mereka berpuasa, sebenarnya mereka mempunyai tanggung jawab untuk turut serta merasakan penderitaan orang lain.
Bagi mereka yang selama ini berkecukupan dan berpenghasilan di atas rata-rata, dahaga dan lapar hanya dirasakan selama bulan puasa. Itu pun bila mereka benar-benar berpuasa. Namun, bagi mereka yang miskin atau mereka yang tidak punya pekerjaan, tentu saja dahaga dan lapar merupakan kondisi yang biasa dan harus dialui, dialami, dan dirasakan setiap saat.
Karena itu, puasa menghadirkan makna yang amat penting dalam ranah sosial. Berbagai makna itu antara lain:
Pertama, puasa sejatinya dapat menggugah kesadaran tentang adanya yang lain, yang membutuhkan uluran tangan dan pemikiran jernih. Puasa harus bermakna bagi upaya mengetuk nurani kita masing-masing agar memberikan perhatian terhadap mereka yang membutuhkan bantuan, pertolongan, dan perlindungan. Tradisi Maidât al- Rahmân sebagaimana dipraktikkan di dunia Arab dan dunia Islam umumnya dapat menjadi salah satu tradisi yang sebenarnya tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan, tetapi juga di bulan-bulan lain. Karena penderitaan tidak hanya terjadi pada bulan puasa, tetapi terjadi di sepanjang masa. Di sinilah ajaran kedermawanan yang tersirat di balik puasa harus selalu dikumandangkan.
Kedua, puasa harus mampu membangun kesadaran tentang kasih sayang dalam keragaman. Dalam Al Quran disebutkan, puasa merupakan ibadah yang diwajibkan tidak hanya bagi umat Muslim, tetapi juga kepada umat- umat agama sebelum Islam. Lalu, Tuhan menyebutkan tujuan puasa adalah ketakwaan (QS al-Baqarah [2]: 183). Imam al-Razi dalam Tafsîr Mafâtîh al-Ghayb berpendapat, yang dimaksud ketakwaan dalam ayat itu adalah upaya menghilangkan syahwat dan nafsu kebinatangan sehingga tidak mengakibatkan munculnya prahara, kejahatan, dan perselisihan. Dalam hal ini, terutama nafsu yang dimunculkan dari perut dan anggota tubuh di bawah perut (al-bathnu wa al-farju).
Ciri Muslim sejati
Dalam membangun kasih sayang, tidak bisa dielakkan puasa dapat memberi kontribusi yang sangat besar. Karena puasa dapat menghadirkan kesabaran.
Rasulullah bersabda, puasa adalah separuh dari kesabaran dan kesabaran adalah separuh dari iman. Jadi, mereka yang menunaikan ibadah puasa tidak semestinya melakukan tindakan kekerasan, penyerangan, dan pengusiran. Karena puasa hakikatnya merupakan tangga untuk membangun kesabaran. Dan kesabaran merupakan ciri-ciri orang muslim yang sejati. Dalam pepatah Arab disebutkan, perumpamaan kesabaran seperti minuman yang mulanya terasa pahit, tetapi bila ditenggak rasanya manis seperti madu.
Di bulan yang suci ini semestinya kasih sayang dapat diwujudkan dalam hati dan perilaku sehari-hari. Dalam puasa tersirat pendidikan Ilahi untuk membangun peradaban kesabaran, yang makin lama makin terasa langka. Maka dari itu, puasa harus dapat mengerem pelbagai tindak yang tidak sejalan dengan fitrah kemanusiaan, sebagaimana digariskan Tuhan dalam Kitab Suci-Nya. Saatnya di bulan penuh berkah ini ditebarkan kasih sayang kepada seluruh ciptaan Tuhan.
(Zuhairi Misrawi, Intelektual Muda NU)
Bulan Suci Dengan Hati Suci
Setiap agama memiliki doktrin kesucian tempat dan waktu. Diharapkan umat beragama saling menghargai keyakinan serta ritual umat lainnya.
Di antara doktrin yang mencolok pada setiap agama adalah perintah bersembahyang dan berdoa serta berpuasa meski dengan keyakinan dan cara berbeda-beda. Meski perintah ibadah masuk wilayah agama, dalam pelaksanaannya unsur budaya tidak bisa dipisahkan.
Pelaksanaan puasa dan Lebaran, misalnya, aspek budayanya amat kental sehingga setiap negara memiliki kekhasan masing-masing. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, ada tradisi yang disebut nyekar sebelum datangnya Ramadhan. Orang melakukan ziarah dan membersihkan kuburan. Ada lagi tradisi padusan, yaitu mandi ramai-ramai sehari sebelum puasa untuk menyucikan diri sebagai persiapan memasuki bulan suci. Belum lagi berbagai jenis masakan yang hanya populer selama bulan Ramadhan. Ini semua menunjukkan bahwa agama dan budaya begitu menyatu, berkaitan, dan saling mengisi.
Dalam ibadah puasa ada tiga aspek yang fundamental, yaitu pendekatan diri kepada Tuhan, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial. Dengan ibadah puasa, seorang yang beriman berusaha mengaktifkan kekuatan rohaninya lalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin. Dengan kedekatan dan intensitas berkomunikasi dengan Tuhan, sebuah proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai ilahi dalam diri seseorang diharapkan akan terjadi. You are what you think, kata orang bijak.
Bahwa apa yang selalu dipikirkan, dibayangkan, dan dirasakan akan memengaruhi dan menggerakkan perilaku seseorang, jika hati dan pikiran selalu terikat dan tertuju kepada Allah Yang Mahakasih, maka kasih Allah akan merasuk ke dalam diri kita sehingga kita menjadi instrumen Tuhan sebagai penyebar kasih dan kebajikan. Namun, untuk meraih prestasi ini mensyaratkan kita untuk membuka diri, membersihkan, dan membuang jauh-jauh berbagai pikiran, perasaan, serta perilaku kotor karena akan menghalangi cahaya dan energi ilahi untuk turun (nuzul) ke dalam diri kita.
Efek sosial puasaAda tiga aspek yang bisa diamati sebagai buah dari puasa, yaitu kesehatan fisik dan mental serta kesalehan sosial. Ketiganya bisa diamati dengan pendekatan medis dan psikologis, apakah efek yang ditimbulkan puasa bagi seseorang. Berbagai kajian ilmiah menunjukkan, dampak puasa amat positif bagi kesehatan dan pembinaan mental.
Namun, menyangkut aspek metafisik-spiritual, hal itu kita serahkan sepenuhnya kepada Allah karena seseorang tidak punya kewenangan dan kemampuan untuk mengukur keikhlasan dan ketakwaan seseorang. Tak ada yang tahu kualitas dan kedalaman puasa seseorang kecuali Allah. Dan sungguh, ketika menjalani puasa, seseorang merasakan betul kehadiran Allah di mana pun ia berada sehingga ia senantiasa berlaku jujur, senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan dan kedamaian. Efek sosialpsikologis puasa mudah sekali kita amati dan rasakan terutama selama bulan Ramadhan. Tibatiba kita menemukan aura spiritual yang begitu kental dalam keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat. Televisi serta radio pun berlomba menyajikan acara keagamaan semenarik mungkin.
Tiba-tiba kita merasakan terjadinya perubahan amat drastis, mayoritas masyarakat Indonesia berubah menjadi santun, mampu menahan diri, jujur, dan tidak ingin menyakiti orang lain. Pendeknya, selama Ramadhan kita menemukan masyarakat yang beradab dan religius.
Demikianlah, menurut Al Quran, salah satu hikmah puasa adalah untuk mendidik jiwa agar mencapai derajat takwa, pribadi yang mampu menahan diri dari berbagai godaan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun, lagi-lagi, pertanyaan yang selalu muncul adalah mengapa—ibarat baterai telepon seluler—daya setrumnya hanya bertahan sebulan? Bukankah mestinya puasa sebulan memiliki daya setrum penyebar kebajikan setidaknya selama setahun?
Salah alamatTerhadap pertanyaan itu, ada dua kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Pertama, kita menjalani puasa tidak sungguh-sungguh sehingga yang didapat bisa jadi lebih pada hikmah fisikal, minimal badan menjadi lebih sehat. Namun, target pembinaan pribadi unggul dengan berpuasa tidak diraih. Kedua, jika aktivitas puasa diharapkan bisa memberantas korupsi dan sekian kejahatan yang merebak dalam masyarakat dan birokrasi, mungkin harapan itu salah alamat karena sebenarnya pemberantasan korupsi sungguh naif jika diharapkan dari gerakan moral-spiritual saja.
Bagi sebagian orang, bulan suci Ramadhan merupakan bulan untuk meng-up grade dan revitalisasi diri sehingga hidup ini senantiasa dipandu kekuatan spiritual. Lewat puasa kita kembalikan dan perkokoh nurani untuk menjadi pemimpin kehidupan.
Kita mesti bersikap positif karena yakin, bulan Ramadhan pasti mendatangkan berkat dan rahmat bagi kita semua.
Puasa sosialSebaiknya pemerintah bisa dan mau menjadikan tradisi dan ibadah puasa sebagai aset dan elemen pembangunan bangsa, karena ibadah puasa dan tradisi Lebaran telah berakar kuat dalam masyarakat dan mengandung kekuatan moral yang sangat besar. Salah satu pesan sosial ibadah puasa adalah agar kita tidak konsumtif, ulet menghadapi tantangan, senantiasa menaruh empati pada problem orang lain, mengedepankan moral dan nurani sebagai panduan hidup, dan selalu merasa dekat dengan Tuhan.
Jika nilai-nilai ini menjadi karakter bangsa, keberagamaan kita akan dirasakan sebagai rahmat, untuk menghapuskan kesan bahwa agama itu sumber pertengkaran, keganasan, dan sekadar peleburan dosa.
Selamat memasuki bulan suci, dengan hati, pikiran, dan perilaku yang juga suci!
(
Oleh: Komaruddin Hidayat, Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta)
AA Gym, Mengatasi Cinta Dunia
Hikam:
"Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang penuh dengan tipuan belaka, dapat diperkirakan bahwa kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkuk."Para sahabat bertanya:
"Apakah saat itu jumlah kami sedikit?"Rasulullah bersabda:
"Tidak bahkan pada saat itu jumlah kamu amat sangat banyak, tetapi seperti air buih didalam air bah karena kamu tertimpa penyakit wahn."Sahabat bertanya: "
Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?"
Rasulullah bersabda:
"Penyakit wahn itu adalah kecintaan yang amat sangat kepada dunia dan takut akan kematian. Cinta dunia merupakan sumber utama segala kesalahan."
Runtuhnya kemuliaan sumber dari segala fitnah, dan semua kesalahan adalah karena kita cinta kepada dunia. Pada Rasul tidak ada cinta dunia kecuali cinta terhadap Allah, cinta terhadap kemuliaan.
Rasulullah merupakan contoh seorang pemimpin yang dicintai sampai ke lubuk hati yang paling dalam. Rasul adalah contoh seorang suami yang benar-benar menjadi suri tauladan dan kebanggaan bagi keluarganya. Rasul juga contoh seorang pengusaha yang dititipi dunia, tapi tidak diperbudak oleh dunia yang dimilikinya. Kalau orang sudah mencintai sesuatu maka dia akan diperbudak oleh apa yang dicintainya.
Orang yang sudah cinta terhadap dunia, akan sombong, dengki, serakah dan berusaha dengan segala cara untuk mencapai segala keinginannya, oleh karena itu yakinlah bahwa dunia itu total milik Allah. Segala sesuatu yang kita miliki baik sedikit maupun banyak semuanya milik Allah. Dalam mencari rizki janganlah mempergunakan kelicikan karena dengan kelicikan atau tidak dengan kelicikan datangnya tetap dari Allah.
(oleh AA.Gym)
Lupakan Jasa & Kebaikan Diri
Semakin kita sering menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, lalu berharap agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya, maka semua ini berarti kita sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.
Ketahuilah bahwa semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak kita akan mengalami kekecewaan.
Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa ijin Allah.
Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan terkecewakan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk.
Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Allah.
Selayaknya kita menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud.
Sesungguhnya terpilih menjadi jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat ganjarannya.
Jadi, ketika ada seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter.
Maka, sebetulnya bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan.
Seharusnya dokter sangat berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya. Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan.
Maka selain memperlihatkan kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya. Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk orang yang merugi karena tidak beroleh pahala.
Juga, tidak selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan, mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa berhutang budi.
Sesungguhnya sang anak sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.
Percayalah bahwa kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan seorang ibu justru akan bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik.
Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.
Seorang guru atau karyawan senior juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada anak didik / juniornya.
Karena memang kewajibannya untuk mengajar dengan baik dan tulus.
Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur bukan ujub dan takabur.
Perlu lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar.
Biasanya akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.
Andaikata ada sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup dan bisa jalan dengan baik, namun ternyata sang supir sama sekali tidak berterima kasih, bahkan menengok ke arah kita pun tidak sama sekali.
Andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan dengan acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir.
Maka lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin.
Dan tentu saja amal pun jadi tidak berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap balasan dari makhluk.
Seharusnya yang kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini diijinkan Allah bisa mendorong mobil.
Silahkan bayangkan andaikata ada mobil yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya, niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil.
Frendz, seringkali kita merasa paling berperan ketika acara atau kegiatan yang kita selenggarakan berlangsung sukses.
Maka ketahuilah, saat lintasan hati itu timbul, saat itu pulalan amal yang kita tanam mulai terbakar habis hingga tak bersisa.
Mari kita bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak dan sesegera mungkin.
Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya.
Allah SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya.
Berpikir Sejak Bangun Tidur
Tidak diperlukan kondisi khusus bagi seseorang untuk memulai berpikir.
Bahkan bagi orang yang baru saja bangun tidur di pagi hari pun terdapat banyak sekali hal-hal yang dapat mendorongnya berpikir.
Saat bangun tidur, rasa capai atau kantuk seakan telah sirna.
Ketika berpikir akan hal ini, ia teringat sebuah firman Allah: "
Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha." (QS. Al-Furqon, 25: 47)
Banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan dari sekedar memikirkan makanan apa yang dipunyainya untuk sarapan pagi. Dan pertama kali yang harus dipikirkan adalah bagaimana ia mampu bangun di pagi hari.
Kendatipun telah kehilangan kesadaran sama sekali sewaktu tidur, namun di keesokan harinya ia kembali lagi kepada kesadaran dan kepribadiannya.
Jantungnya berdetak, ia dapat bernapas, berbicara dan melihat.
Padahal di saat ia pergi tidur, tidak ada jaminan bahwa semua hal ini akan kembali seperti sediakala di pagi harinya.
Tidak pula ia mengalami musibah apapun malam itu.
Misalnya, kealpaan tetangga yang tinggal di sebelah rumah dapat menyebabkan kebocoran gas yang dapat meledak dan membangunkannya malam itu. Sebuah bencana alam yang dapat merenggut nyawanya dapat saja terjadi di daerah tempat tinggalnya.
Ia mungkin saja mengalami masalah dengan fisiknya.
Sebagai contoh, bisa saja ia bangun tidur dengan rasa sakit yang luar biasa pada ginjal atau kepalanya.
Namun tak satupun ini terjadi dan ia bangun tidur dalam keadaan selamat dan sehat. Memikirkan yang demikian mendorongnya untuk bersyukur kepada Allah atas kasih sayang dan penjagaan yang diberikan-Nya.
Memulai hari yang baru dengan kesehatan yang prima memiliki makna bahwa Allah kembali memberikan seseorang sebuah kesempatan yang dapat dipergunakannya untuk mendapatkan keberuntungan yang lebih baik di akhirat.
Ingat akan semua ini, maka sikap yang paling sesuai adalah menghabiskan waktu di hari itu dengan cara yang diridhai Allah.
Tubuh manusia yang demikian lemah ketika baru saja bangun dari tidur dapat mendorong manusia untuk berpikir: Setiap pagi ia harus membasuh muka dan membersihkan gigi.
Sadar akan hal ini, ia pun merenungkan tentang kelemahan-kelemahannya yang lain.
Keharusannya untuk mandi setiap hari, penampilannya yang akan terlihat mengerikan jika tubuhnya tidak ditutupi oleh kulit ari, dan ketidakmampuannya menahan rasa kantuk, lapar dan dahaga, semuanya adalah bukti-bukti tentang kelemahan dirinya. "
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (QS. Ar-Ruum, 30: 54)
Bagi orang yang telah berusia lanjut, bayangan dirinya di dalam cermin dapat memunculkan beragam pikiran dalam benaknya.
Ketika menginjak usia 20-an dari, tanda-tanda proses penuaan telah terlihat di wajahya.
Di usia 30-an, lipatan-lipatan kulit mulai kelihatan di bawah kelopak mata dan di sekitar mulutnya, kulitnya tidak lagi mulus sebagaimana sebelumnya, perubahan bentuk fisik terlihat di sebagian besar tubuhnya.
Ketika memasuki usia yang semakin senja, rambutnya memutih dan tangannya menjadi rapuh. Bagi orang yang berpikir tentang hal ini, usia senja adalah peristiwa yang paling nyata yang menunjukkan sifat fana dari kehidupan dunia dan mencegahnya dari kecintaan dan kerakusan akan dunia.
Orang yang memasuki usia tua memahami bahwa detik-detik menuju kematian telah dekat. Jasadnya mengalami proses penuaan dan sedang dalam proses meninggalkan dunia ini. Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai melemah kendatipun ruhnya tidaklah berubah menjadi tua.
Sebagian besar manusia sangat terpukau oleh ketampanan atau merasa rendah dikarenakan keburukan wajah mereka semasa masih muda.
Setiap saat ketika menghadapi segala kelemahannya manusia berpikir bahwa satu-satunya Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Besar serta jauh dari segala ketidaksempurnaan adalah Allah, dan iapun mengagungkan kebesaran Allah.
Allah menciptakan setiap kelemahan manusia dengan sebuah tujuan ataupun makna.
Termasuk dalam tujuan ini adalah agar manusia tidak terlalu cinta kepada kehidupan dunia, dan tidak terpedaya dengan segala yang mereka punyai dalam kehidupan dunia.
Seseorang yang mampu memahami hal ini dengan berpikir akan mendambakan agar Allah menciptakan dirinya di akhirat kelak bebas dari segala kelemahan.
Segala kelemahan manusia mengingatkan akan satu hal yang menarik untuk direnungkan: tanaman mawar yang muncul dan tumbuh dari tanah yang hitam ternyata memiliki bau yang
demikian harum.
Sebaliknya, bau yang sangat tidak sedap muncul dari orang yang tidak merawat tubuhnya. Khususnya bagi mereka yang sombong dan membanggakan diri, ini adalah sesuatu yang seharusnya mereka pikirkan dan ambil pelajaran darinya.
(Diambil dari karya Harun Yahya dalam bukunya "Deep Thinking")
Saat Lapang & Sempit
Ada kalanya seseorang diposisikan oleh Allah ke dalam keadaan qabd (sempit) dan ia ingin segera hijrah ke posisi bast (lapang). Betapa pun besarnya keinginan orang itu, jika suratan takdir Ilahi belum saatnya, maka ia akan tetap berada dalam kesempitan. Semakin meronta untuk hijrah dari gelap ke terang, ia makin ''kesakitan''. Bagaimana mungkin di malam yang pekat seseorang mencari secercah sinar matahari? Itulah sebabnya, Syekh Atha'illah Asy-Syakandari dalam kitab Hikam-nya menerangkan bahwa saat qabd, seseorang hendaknya menenangkan dirinya dan bersabar menunggu fajar.Dalam gelapnya malam, janganlah berharap mencari terangnya sinar matahari, tetapi hendaknya menikmati keadaan malam yang sesungguhnya yang tidak kalah dengan siang hari.
Memang, para tabi'ien dulu terinspirasi QS 3:190, ''Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.'' Mereka kemudian menafsirkan malam sebagai qabd dan siang adalah bast. Karena Allah telah merumuskan terjadinya silih bergantinya malam dan siang (begitu juga sebaliknya), dengan demikian dua keadaan qabd dan bast adalah keniscayaan.
Para ulama tabi'ien dulu juga banyak yang menggali dua potensi tadi, yakni malam (qabd) dan siang (bast). Ternyata, kesimpulan para ulama menyatakan bahwa keduanya memiliki potensi yang seimbang, baik kelebihan ataupun kelemahannya.
Pada siang hari, seseorang tentu bisa menikmati indah dan terangnya sinar matahari. Tapi, dalam kondisi bast seperti itu, betapa banyak ''pejabat karbitan'' yang digiring masuk bui lantaran menikmati hasil korupsi? Sebaliknya, di malam hari, seseorang bisa menikmati keindahan malam, seperti indahnya bulan dan bintang-gemintang, suasana romantis bagi suami-istri, dan seterusnya.
Namun, banyak pula rencana kejahatan dan kemungkaran yang dirancang pada malam hari.Tak ayal jika kaum Muslim disunahkan membaca Surat Al Falaq dan An Naas, terutama di malam hari untuk menolak gangguan setan dan jin kafir.
Keadaan bast adalah pengejawantahan dari syukur, sedangkan qabd identik dengan kesabaran. Allah juga memberi kedua situasi tersebut kepada para nabi dan rasul-Nya. Nabi Sulaiman AS yang telah dikaruniai-Nya beragam keistimewaan dan kelebihan, juga mengajari bagaimana cara bersyukur yang baik.
Kaum Muslimin pun banyak yang meniru dan ingin mendapat karunia seperti beliau. Tapi sayang, mereka enggan mengikuti junjungan Nabi Muhammad SAW yang berdoa, ''Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai seorang miskin, matikanlah aku sebagai seorang miskin, dan bangkitkanlah aku kelak dalam kelompok orang-orang miskin.'' (Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir).
Tetapi, miskin yang dimaksud dalam hadis tersebut, menurut Dr Yusuf Qardhawi (Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW), adalah sikap tawadhu' dan rendah hati. Memang demikianlah Rasulullah menjalani hidup sehari-hari, amat jauh dari takabur. (WS)(Sumber: Hikmah Republika)
AA Gym, Bila Selalu Mengingat Mati
Sehalus-halus kehinaan di sisi ALLAH adalah tercerabutnya kedekatan kita dari sisi-Nya. Hal ini biasanya ditandai dengan kualitas ibadah yang jauh dari meningkat, atau bahkan malah menurun. Tidak bertambah bagus ibadahnya, tidak bertambah pula ilmu yang dapat membuatnya takut kepada ALLAH, bahkan justru maksiat pun sudah mulai dilakukan, dan anehnya yang bersangkutan tidak merasa rugi. Inilah tanda-tanda akan tercerabutnya nikmat berdekatan bersama ALLAH Azza wa Jalla.
Pantaslah bila Imam Ibnu Athoillah pernah berujar, "Rontoknya iman ini akan terjadi pelan-pelan, terkikis-kikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya tanpa terasa habis tandas tidak tersisa". Demikianlah yang terjadi bagi orang yang tidak berusaha memelihara iman di dalam kalbunya. Karenanya jangan pernah permainkan nikmat iman di hati ini.
Ada sebuah kejadian yang semoga dengan diungkapkannya di forum ini ada hikmah yang bisa diambil. Kisahnya dari seorang teman yang waktu itu nampak begitu rajin beribadah, saat shalat tak lepas dari linang air mata, shalat tahajud pun tak pernah putus, bahkan anak dan istrinya diajak pula untuk berjamaah ke mesjid. Selidik punya selidik, ternyata saat itu dia sedang menanggung utang. Karenanya diantara ibadah-ibadahnya itu dia selipkan pula doa agar utangnya segera terlunasi. Selang beberapa lama, ALLAH Azza wa Jalla, Zat yang Mahakaya dan Maha Mengabulkan setiap doa hamba-Nya pun berkenan melunasi utang rekan tersebut.
Sayangnya begitu utang terlunasi doanya mulai jarang, hilang pula motivasinya untuk beribadah. Biasanya kehilangan shalat tahajud menangis tersedu-sedu, "Mengapa Engkau tidak membangunkan aku, ya ALLAH?!", ujarnya seakan menyesali diri. Tapi lama-kelamaan tahajud tertinggal justru menjadi senang karena jadual tidur menjadi cukup. Bahkan sebelum azan biasanya sudah menuju mesjid, tapi akhir-akhir ini datang ke mesjid justru ketika azan. Hari berikutnya ketika azan tuntas baru selesai wudhu. Lain lagi pada besok harinya, ketika azan selesai justru masih di rumah, hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk shalat di rumah saja.
Begitupun untuk shalat sunat, biasanya ketika masuk mesjid shalat sunat tahiyatul mesjid terlebih dulu dan salat fardhu pun selalu dibarengi shalat rawatib. Tapi sekarang saat datang lebih awal pun malah pura-pura berdiri menunggu iqamat, selalu ada saja alasannya. Sesudah iqamat biasanya memburu shaf paling awal, kini yang diburu justru shaf paling tengah, hari berikutnya ia memilih shaf sebelah pojok, bahkan lama-lama mencari shaf di dekat pintu, dengan alasan supaya tidak terlambat dua kali. "Kalau datang terlambat, maka ketika pulang aku tidak boleh terlambat lagi, pokoknya harus duluan!" Pikirnya.
Saat akan shalat sunat rawatib, ia malah menundanya dengan alasan nanti akan di rumah saja, padahal ketika sampai di rumah pun tidak dikerjakan. Entah disadari atau tidak oleh dirinya, ternyata pelan-pelan banyak ibadah yang ditinggalkan. Bahkan pergi ke majlis ta'lim yang biasanya rutin dilakukan, majlis ilmu di mana saja dikejar, sayangnya akhir-akhir ini kebiasaan itu malah hilang.
Ketika zikir pun biasanya selalu dihayati, sekarang justru antara apa yang diucapkan di mulut dengan suasana hati, sama sekali bak gayung tak bersambut. Mulut mengucap, tapi hati malah keliling dunia, masyaallah. Sudah dilakukan tanpa kesadaran, seringkali pula selalu ada alasan untuk tidak melakukannya. Saat-saat berdoa pun menjadi kering, tidak lagi memancarkan keuatan ruhiah, tidak ada sentuhan, inilah tanda-tanda hati mulai mengeras.
Kalau kebiasaan ibadah sudah mulai tercerabut satu persatu, maka inilah tanda-tanda sudah tercerabutnya taupiq dari-Nya. Akibat selanjutnya pun mudah ditebak, ketahanan penjagaan diri menjadi blong, kata-katanya menjadi kasar, mata jelalatan tidak terkendali, dan emosinya pun mudah membara. Apalagi ketika ibadah shalat yang merupakan benteng dari perbuatan keji dan munkar mulai lambat dilakukan, kadang-kadang pula mulai ditinggalkan. Ibadah yang lain nasibnya tak jauh beda, hingga akhirnya meningallah ia dalam keadaan hilang keyakinannya kepada ALLAH. Inilah yang disebut suul khatimah (jelek di akhir), naudzhubillah. Apalah artinya hidup kalau akhirnya seperti ini. ***
Ada lagi sebuah kisah pilu ketika suatu waktu bersilaturahmi ke Batam. Kisahnya ada seorang wanita muda yang tidak bisa menjaga diri dalam pergaulan dengan lawan jenisnya sehingga dia hamil, sedangkan laki-lakinya tidak tahu entah kemana (tidak bertanggung jawab). Hampir putus asa ketika si wanita ini minta tolong kepada seorang pemuda mesjid. Ditolonglah ia untuk bisa melakukan persalinan di suatu klinik bersalin, hingga ia bisa melahirkan dengan lancar. Walau tidak jelas siapa ayahnya, akhirnya si wanita ini pun menjadi ibu dari seorang bayi mungil.
Sayangnya, sesudah beberapa lama ditolong, sifat-sifat jahiliyahnya kambuh lagi. Mungkin karena iman dan ilmunya masih kurang, bahkan ketika dinasihati pun tidak mempan lagi hingga akhirnya dia terjerumus lagi. Demikianlah kisah si wanita ini, ia kembali hamil di luar nikah tanpa ada pria yang mau bertanggung jawab.
Lalu ditolonglah ia oleh seseorang yang ternyata aqidahnya beda. Si orang yang akan membantu pun menawarkan bantuan keuangan dengan catatan harus pindah agama terlebih dulu. Si wanita pun menyetujuinya, dalam hatinya "Toh hanya untuk persalinan saja, setelah melahirkan aku akan masuk Islam lagi". Tapi ternyata ALLAH menentukan lain, saat persalinan itu justru malaikat Izrail datang menjemput, meninggalah si wanita dalam keadaan murtad, naudzhubillah. ***
Cerita ini nampaknya bersesuaian pula dengan sebuah kisah klasik dari Imam Al Ghazali.
Suatu ketika ada seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi muazin di sebuah menara tinggi di samping mesjid. Kebetulan di samping mesjid itu adapula sebuah rumah yang ternyata dihuni oleh keluarga non-muslim, diantara anak-anak keluarga itu ada seorang anak perempuan berparas cantik yang sedang berangkat ramaja.
Tiap naik menara untuk azan, secara tidak disengaja tatapan mata sang muazin selalu tertumbuk pada si anak gadis ini, begitu pula ketika turun dari menara. Seperti pepatah mengatakan "dari mata rurun ke hati", begitulah saking seringnya memandang, hati sang muazin pun mulai terpaut akan paras cantik anak gadis ini. Bahkan saat azan yang diucapkan di mulut Allahuakbar-Allahuakbar, tapi hatinya malah khusyu memikirkan anak gadis itu.
Karena sudah tidak tahan lagi, maka sang muazin ini pun nekad mendatangi rumah si anak gadis tersebut dengan tujuan untuk melamarnya. Hanya sayang, orang tua si anak gadis menolak dengan mentah-mentah, apalagi jika anaknya harus pindah keyakinan karena mengikuti agama calon suaminya, sang muazin yang beragama Islam itu. "Selama engkau masih memeluk Islam sebagai agamamu, tidak akan pernah aku ijinkan anakku menjadi istrimu" ujar si Bapak, seolah-olah memberi syarat agar sang muazin ini mau masuk agama keluarganya terlebih dulu.
Berpikir keraslah sang muazin ini, hanya sayang, saking ngebetnya pada gadis ini, pikirannya seakan sudah tidak mampu lagi berpikir jernih. Hingga akhirnya di hatinya terbersit suatu niat, "Ya ALLAH saya ini telah bertahun-tahun azan untuk mengingatkan dan mengajak manusia menyembah-Mu. Aku yakin Engkau telah menyaksikan itu dan telah pula memberikan balasan pahala yang setimpal. Tetapi saat ini aku mohon beberapa saat saja ya ALLAH, aku akan berpura-pura masuk agama keluarga si anak gadis ini, setelah menikahinya aku berjanji akan kembali masuk Islam". Baru saja dalam hatinya terbersit niat seperti itu, dia terpeleset jatuh dari tangga menara mesjid yang cukup tinggi itu. Akhirnya sang muazin pun meninggal dalam keadaan murtad dan suul khatimah. ***
Kalau kita simak dengan seksama uraian-uraian kisah di atas, nampaklah bahwa salah satu hikmah yang dapat kita ambil darinya adalah jikalau kita sedang berbuat kurang bermanfaat bahkan zhalim, maka salah satu teknik mengeremnya adalah dengan 'mengingat mati'. Bagaimana kalau kita tiba-tiba meninggal, padahal kita sedang berbuat maksiat, zhalim, atau aniaya? Tidak takutkah kita mati suul khatimah? Naudzhubillah. Ternyata ingat mati menjadi bagian yang sangat penting setelah doa dan ikhtiar kita dalam memelihara iman di relung kalbu ini. Artinya kalau ingin meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, maka selalulah ingat mati.
Dalam hal ini Rasulullah SAW telah mengingatkan para sahabatnya untuk selalu mengingat kematian. Dikisahkan pada suatu hari Rasulullah keluar menuju mesjid. Tiba-tiba beliau mendapati suatu kaum yangsedang mengobrol dan tertawa. Maka beliau bersabda, "Ingatlah kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis."
Dan ternyata ingat mati itu efektif membuat kita seakan punya rem yang kokoh dari berbuat dosa dan aniaya. Akibatnya dimana saja dan kapan saja kita akan senantiasa terarahkan untuk melakukan segala sesuatu hanya yang bermanfaat. Begitupun ketika misalnya, mendengarkan musik ataupun nyanyian, yang didengarkan pasti hanya yang bermanfaat saja, seperti nasyid-nasyid Islami atau bahkan bacaan Al Quran yang mengingatkan kita kepada ALLAH Azza wa Jalla. Sehingga kalaupun malaikat Izrail datang menjemput saat itu, alhamdulillah kita sedang dalam kondisi ingat kepada ALLAH. Inilah khusnul khatimah.
Bahkan kalau kita lihat para arifin dan salafus shalih senantiasa mengingat kematian, seumpama seorang pemuda yang menunggu kekasihnya. Dan seorang kekasih tidak pernah melupakan janji kekasihnya. Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah r.a. bahwa ketika kematian menjemputnya, ia berkata, "Kekasih datang dalam keadaan miskin. Tiadalah beruntung siapa yang menyesali kedatangannya. Ya ALLAH, jika Engkau tahu bahwa kefakiran lebih aku sukai daripada kaya, sakit lebih aku sukai daripada sehat, dan kematian lebih aku sukai daripada kehidupan, maka mudahkanlah bagiku kematian sehingga aku menemui-Mu."
Akhirnya, semoga kita digolongkan ALLAH SWT menjadi orang yang beroleh karunia khusnul khatimah. Amin! ***
AA Gym, Selalu Menata Hati
Betapa indahnya sekiranya kita memiliki qolbu yang senantiasa tertata, terpelihara, terawat dengan sebaik-baiknya. Ibarat taman bunga yang pemiliknya mampu merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Alur-alur penanamannya tertata rapih. Pengelompokan jenis dan warna bunganya berkombinasi secara artistik. Yang ditanam hanya tanaman bunga yang memiliki warna-warni yang indah atau bahkan yang menyemerbakan keharuman yang menyegarkan.
Rerumputan liar yang tumbuh dibawahnya senantiasa disiangi. Parasit ataupun hama yang akan merusak batang dan daunnya dimusnahkan. Tak lupa setiap hari disiraminya dengan merata, dengan air yang bersih. Tak akan dibiarkan ada dahan yang patah atau ranting yang mengering.
Walhasil, tanahnya senantiasa gembur, tanaman bunga pun tumbuh dengan subur. Dedaunannya sehat menghijau. Dan, subhanallah, bila pagi tiba manakala sang matahari naik sepenggalah, dan saat titik-titik embun yang bergelayutan di ujung dedaunan menagkap kilatan cahayanya, bunga-bunga itu, dengan aneka warnanya, mekar merekah. Wewangian harumnya semerbak ke seantero taman, tak hanya tercium oleh pemiliknya, tetapi juga oleh siapapun yang kebetulan berlalu dekat taman. Sungguh, alangkah indah dan mengesankan.
Begitu pun qolbu yang senantiasa tertata, terpelihara, serta terawat dengan sebaik-baiknya. Pemiliknya akan senantiasa merasakan lapang, tenteram, tenang, sejuk, dan indahnya hidup di dunia ini. Semua ini akan tersemburat pula dalam setiap gerak-geriknya, perilakunya, tutur katanya, sunggingan senyumnya, tatapan matanya, riak air mukanya, bahkan diamnya sekalipun.
Orang yang hatinya tertata dengan baik tak pernah merasa resah gelisah, tak pernah bermuram durja, tak pernah gundah gulana. Kemana pun pergi dan dimana pun berada, ia senantiasa mampu mengendalikan hatinya. Dirinya senantiasa berada dalam kondisi damai dan mendamaikan, tenang dan menenangkan, tenteram dan menenteramkan. Hatinya bagai embun yang menggelayut di dedaunan di pagi hari, jernih, bersinar, sejuk, dan menyegarkan. Hatinya tertambat bukan kepada barang-barang yang fana, melainkan selalu ingat dan merindukan Zat yang Maha Memberi Ketenteraman, Allah Azza wa Jalla.
Ia yakin dengan keyakinan yang amat sangat bahwa hanya dengan mengingat dan merindukan Allah, hanya dengan menyebut-nyebut namanya setiap saat, meyakini dan mengamalkan ayat-ayat-Nya, maka hatinya menjadi tenteram. Tantangan apapun dihadapinya, seberat apapun, diterimanya dengan ikhlas. Dihadapinya dengan sunggingan senyum dan lapang dada. Baginya tak ada masalah sebab yang menjadi masalah hanyalah caranya yang salah dalam menghadapi masalah.
Adalah kebalikannya dengan orang yang berhati semrawut dan kusut masai. Ia bagaikan kamar mandi yang kumuh dan tidak terpelihara. Lantainya penuh dengan kotoran. Lubang WC-nya masih belepotan sisa kotoran. Dindingnya kotor dan kusam. Gayungnya bocor, kotor, dan berlendir. Pintunya tak berselot. Krannya susah diputar dan air pun sulit untuk mengalir. Tak ada gantungan. Baunya membuat setiap orang yang menghampirinya menutup hidung. Sudah pasti setiap orang enggan memasukinya. Kalaupun ada yang sudi memasukinya, pastilah karena tak ada pilihan lain dan dalam keadaan yang sangat terdesak. Itu pun seraya menutup hidung dan menghindarkan pandangan sebisa-bisanya.
Begitu pun keadaannya dengan orang yang berhati kusam. Ia senantiasa tampak resah dan gelisah. Hatinya dikotori dengan buruk sangka, dendam kesumat, licik, tak mau kompromi, mudah tersinggung, tidak senang melihat orang lain berbahagia, kikir, dan lain-lain penyakit hati yang terus menerus menumpuk, hingga sulit untuk dihilangkan.
Sungguh, orang yang berhati busuk seperti itu akan mendapatkan kerugian yang berlipat-lipat. Tidak saja hatinya yang selalu gelisah, namun juga orang lain yang melihatnya pun akan merasa jijik dan tidak akan menaruh hormat sedikit pun jua. Ia akan dicibir dan dilecehkan orang. Ia akan tidak disukai, sehingga sangat mungkin akan tersisih dari pergaulan. Terlepas siapa orangnya. Adakah ia orang berilmu, berharta banyak, pejabat atau siapapun; kalau berhati busuk, niscaya akan mendapat celaan dari masyarakat yang mengenalnya. Derajatnya pun mungkin akan sama atau, bahkan, lebih hina dari pada apa yang dikeluarkan dari perutnya.
Bagi orang yang demikian, selain derajat kemuliannya, akan jatuh di hadapan manusia, juga di hadapan Allah. Ini dikarenakan hari-harinya selalu diwarnai dengan aneka perbuatan yang mengundang dosa. Allah tidak akan pernah berlaku aniaya terhadap makhluk-makhluknya. Sesungguhnyalah apa yang didapatkan seseorang itu, tidak bisa tidak, merupakan buah dari apa yang diusahakannya.
"Dan bahwasannya manusia tidak akan memperoleh (sesuatu), selain dari apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasannya kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberikan balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna." (QS. An Najm {53} : 39-41), demikian firman Allah Azza wa Jalla.
Kebaikan yang ditunaikan dan kejahatan yang diperbuat seseorang pastilah akan kembali kepada pelakunya. Jika berbuat kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan takaran yang telah dijanjikan-Nya. Sebaliknya, jika berbuat kejahatan, niscaya ia akan mendapatkan balasan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukannya. Sedangkan kebaikan dan kejahatan tidaklah bisa berhimpun dalam satu kesatuan.
Orang yang hatinya tertata rapih adalah orang yang telah berhasil merintis jalan ke arah kebaikan. Ia tidak akan tergoyahkan dengan aneka rayuan dunia yang tampak menggiurkan. Ia akan melangkah pada jalan yang lurus. Dititinya tahapan kebaikan itu hingga mencapai titik puncak. Sementara itu ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk berusaha sekuat-kuatnya untuk memelihara dirinya dari sikap riya, ujub, dan perilaku rendah lainnya. Oleh karenanya, surga sebaik-baiknya tempat kembali, tentulah telah disediakan bagi kepulangannya ke yaumil akhir kelak. Bahkan ketika hidup di dunia yang singkat ini pun ia akan menikmati buah dari segala amal baiknya.
Dengan demikian, sungguh betapa beruntungnya orang yang senantiasa bersungguh-sungguh menata hatinya karena berarti ia telah menabung aneka kebaikan yang akan segera dipetik hasilnya dunia akhirat. Sebaliknya alangkan malangnya orang yang selama hidupnya lalai dan membiarkan hatinya kusut masai dan kotor. Karena, jangankan akhirat kelak, bahkan ketika hidup di dunia pun nyaris tidak akan pernah merasakan nikmatnya hidup tenteram, nyaman, dan lapang.
Marilah kita senantiasa melatih diri untuk menyingkirkan segala penyebab yang potensial bisa menimbulkan ketidaknyamanan di dalam hati ini. Karena, dengan hati yang nyaman, indah, dan lapang, niscaya akan membuat hidup ini terasa damai, karena berseliwerannya aneka masalah sama sekali tidak akan pernah membuat dirinya terjebak dalam kesulitan hidup karena selalu mampu menemukan jalan keluar terbaiknya, dengan izin Allah. Insya Allah!***
AA Gym, Buah Kebeningan Hati
Sungguh beruntung bagi siapapun yang mampu menata qolbunya menjadi bening, jernih, bersih, dan selamat. Sungguh berbahagia dan mengesankan bagi siapapun sekiranya memiliki qolbu yang tertata, terpelihara, dan terawat dengan sebaik-baiknya. Karena selain senantiasa merasakan kelapangan, ketenangan, ketenteraman, kesejukan, dan indahnya hidup di dunia ini, pancaran kebeningan hati pun akan tersemburat pula dari indahnya setiap aktivitas yang dilakukan.
Betapa tidak, orang yang hatinya tertata dengan baik, wajahnya akan jauh lebih jernih. Bagai embun menggelayut di ujung dedaunan di pagi hari yang cerah lalu terpancari sejuknya sinar mentari pagi; jernih, bersinar, sejuk, dan menyegarkan. Tidak berlebihan jika setiap orang akan merasa nikmat menatap pemilik wajah yang cerah, ceria, penuh sungging senyuman tulus seperti ini.
Begitu pula ketika berkata, kata-katanya akan bersih dari melukai, jauh dari kata-kata yang menyombongkan diri, terlebih lagi ia terpelihara dari kata-kata riya, subhanallah. Setiap butir kata yang keluar dari lisannya yang telah tertata dengan baik ini, akan terasa sarat dengan hikmah, sarat dengan makna, dan sarat akan mamfaat. Tutur katanya bernas dan berharga. Inilah buah dari gelegak keinginan di lubuk hatinya yang paling dalam untuk senantiasa membahagiakan orang lain.
Kesehatan tubuh pun terpancari pula oleh kebeningan hati, buah dari kemampuannya menata qolbu. Detak jantung menjadi terpelihara, tekanan darah terjaga, ketegangan berkurang,dan kondisi diri yang senantiasa diliputi kedamaian. Tak berlebihan jika tubuh pun menjadi lebih sehat, lebih segar, dan lebih fit. Tentu saja tubuh yang sehat dan segar seperti ini akan jauh lebih memungkinkan untuk berbuat banyak kepada umat.
Orang yang bening hati, akal pikirannya pun akan jauh lebih jernih. Baginya tidak ada waktu untuk berpikir jelek sedetik pun jua. Apalagi berpikir untuk menzhalimi orang lain, sama sekali tidak terlintas dibenaknya. Waktu baginya sangat berharga. Mana mungkin sesuatu yang berharga digunakan untuk hal-hal yang tidak berharga? Sungguh suatu kebodohan yang tidak terkira. Karenanya dalam menjalani setiap detik yang dilaluinya ia pusatkan segala kemampuannya untuk menyelesaikan setiap tugas hidupnya. Tak berlebihan jika orang yang berbening hati seperti ini akan lebih mudah memahami setiap permasalahan, lebih mudah menyerap aneka ilmu pengetahuan, dan lebih cerdas dalam melakukan beragam kreativitas pemikiran. Subhanallah, bening hati ternyata telah membuahkan aneka solusi optimal dari kemampuan akal pikirannya.
Walhasil, orang yang telah tertata hatinya adalah orang yang telah berhasil merintis tapak demi tapak jalan ke arah kebaikan tidak mengherankan ketika ia menjalin hubungan dengan sesama manusia pun menjadi sesuatu yang teramat mengesankan. Hatinya yang bersih membuat terpancar darinya akhlak yang indah mempesona, rendah hati, dan penuh dengan kesantunan. Siapapun yang berjumpa akan merasa kesan yang mendalam, siapapun yang bertemu akan memperoleh aneka mamfaat kebaikan, bahkan ketika berpisah sekalipun, orang seperti ini menjadi buah kenangan yang tak mudah dilupakan.
Dan, Subhanallah, lebih dari semua itu, kebeningan hatipun ternyata dapat membuat hubungan dengan Allah menjadi luar biasa mamfaatnya. Dengan berbekal keyakinan yang mendalam, mengingat dan menyebut-Nya setiap saat, meyakini dan mengamalkan ayat-ayat-Nya, membuat hatinya menjadi tenang dan tenteram. Konsekuensinya, dia pun menjadi lebih akrab dengan Allah, ibadahnya lebih terasa nikmat dan lezat. Begitu pula do’a-do’anya menjadi luar biasa mustajabnya. Mustajabnya do’a tentu akan menjadi solusi bagi persoalan-persoalan hidup yang dihadapinya. Dan yang paling luar biasa adalah karunia perjumpaan dengan Allah Azza wa Jalla di akhirat kelak, Allahu Akbar.
Pendek kata orang yang bersih hati itu, luar biasa nikmatnya, luar biasa bahagianya, dan luar biasa mulianya. Tidak hanya di dunia ini, tapi juga di akhirat kelak. Tidak rindukah kita memiliki hati yang bersih?
Silahkan bandingkan dengan orang yang berperilaku sebaliknya; berhati busuk, semrawut, dan kusut masai. Wajahnya bermuram durja, kusam, dan senantiasa tampak resah dan gelisah. Kata-katanya bengis, kasar, dan ketus. Hatinya pun senantiasa dikotori buruk sangka, dendam kesumat, licik, tak mau kompromi, mudah tersinggung, tidak senang melihat orang lain bahagia, kikir, dan lain-lain penyakit hati yang terus menerus menumpuk, hingga sulit untuk dihilangkan. Tak berlebihan bila perilakunya pun menjadi hina dan nista, jauh dari perilaku terhormat, lebih dari itu, badannya pun menjadi mudah terserang penyakit. Penyakit buah dari kebusukan hati, buah dari ketegangan jiwa, dan buah dari letihnya pikiran diterpa aneka rona masalah kehidupan. Selain itu, akal pikirannya pun menjadi sempit dan bahkan lebih banyak berpikir tentang kezhaliman.
Oleh karenanya, bagi orang yang busuk hati sama sekali tidak ada waktu untuk bertambah ilmu. Segenap waktunya habis hanya digunakan untuk memuntahkan ketidaksukaannya kepada orang lain. Tidak mengherankan bila hubungan dengan Allah SWT pun menjadi hancur berantakan, ibadah tidak lagi menjadi nikmat dan bahkan menjadi rusak dan kering. Lebih rugi lagi, ia menjadi jauh dari rahmat Allah. Akibatnya pun jelas, do’a menjadi tidak ijabah (terkabul), dan aneka masalah pun segera datang menghampiri, naudzubillaah (kita berlindung kepada Allah).
Ternyata hanya kerugian dan kerugian saja yang didapati orang berhati busuk. Betapa malangnya. Pantaslah Allah SWT dalam hal ini telah mengingatkan kita dalam sebuah Firman-Nya : "Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (Q.S. Asy-Syam [91] : 9 – 10).
Ingatlah, hidup hanya satu kali dan siapa tahu tidak lama lagi kita akan mati. Marilah bersama-sama bergabung dalam barisan orang-orang yang terus memperbaiki diri, dan mudah-mudahan kita menjadi contoh awal bagaimana menjadikan hidup indah dan prestatif dengan bening hati, Insya Allah.
Memperindah Hati Ala AA Gym
Setiap manusia tentulah sangat menyukai dan merindukan keindahan.
Banyak orang yang menganggap keindahan adalah pangkal dari segala puji dan harga.
Tidak usah heran kalau banyak orang memburunya.
Ada orang yang berani pergi beratus bahkan beribu kilometer semata-mata untuk mencari suasana pemandangan yang indah.
Banyak orang rela membuang waktu untuk berlatih mengolah jasmani setiap saat karena sangat ingin memiliki tubuh yang indah.
Tak sedikit juga orang berani membelanjakan uangnya berjuta bahkan bermilyar karena sangat rindu memiliki rumah atau kendaraan mewah.
Akan tetapi, apa yang terjadi? Tak jarang kita menyaksikan betapa terhadap orang-orang yang memiliki pakaian dan penampilan yang mahal dan indah, yang datang ternyata bukan penghargaan, melainkan justru penghinaaan.
Ada juga orang yang memiliki rumah megah dan mewah, tetapi bukannya mendapatkan pujian, melainkan malah cibiran dan cacian.
Mengapa keindahan yang tadinya disangka akan mengangkat derajat kemuliaan malah sebaliknya, padahal kunci keindahan yang sesungguhnya adalah jika sesorang merawat serta memperhatikan kecantikan dan keindahan hati.
Inilah pangkal kemuliaan sebenarnya.
Rasulullah SAW pakaiannya tidak bertabur bintang penghargaan, tanda jasa, dan pangkat.
Akan tetapi, demi Allah sampai saat ini tidak pernah berkurang kemuliaannya.
Rasulullah SAW tidak menggunakan singgasana dari emas yang gemerlap, ataupun memiliki rumah yang megah dan indah.
Akan tetapi, sampai detik ini sama sekali tidak pernah luntur pujian dan penghargaan terhadapnya, bahkan hingga kelak datang akhir zaman.
Apakah rahasianya? Ternyata semua itu dikarenakan Rasulullah SAW adalah orang yang sangat menjaga mutu keindahan dan kesucian hatinya.
Rasulullah SAW bersabda, "Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu!" (HR. Bukhari dan Muslim).
Boleh saja kita memakai segala apapun yang indah-indah.
Namun, kalau tidak memiliki hati yang indah,demi Allah tidak akan pernah ada keindahan yang sebenarnya.
Karenanya jangan terpedaya oleh keindahan dunia.
Lihatlah, begitu banyak wanita malang yang tidak mengenal moral dan harga diri.
Mereka pun tidak kalah indah dan molek wajah, tubuh, ataupun penampilannya.
Kendatipun demikian, mereka tetap diberi oleh Allah dunia yang indah dan melimpah.
Ternyata dunia dan kemewahan bukanlah tanda kemuliaan yang sesungguhnya karena orang-orang yang rusak dan durjana sekalipun diberi aneka kemewahan yang melimpah ruah oleh Allah.
Kunci bagi orang-orang yang ingin sukses, yang ingin benar-benar merasakan lezat dan mulianya hidup, adalah orang-orang yang sangat memelihara serta merawat keindahan dan kesucian qalbunya.
Imam Al Ghazali menggolongkan hati ke dalam tiga golongan, yakni yang sehat (qolbun shahih), hati yang sakit (qolbun maridh), dan hati yang mati (qolbun mayyit).
Seseorang yang memiliki hati sehat tak ubahnya memiliki tubuh yang sehat. Ia akan berfungsi optimal. Ia akan mampu memilih dan memilah setiap rencana atas suatu tindakan, sehingga setiap yang akan diperbuatnya benar-benar sudah melewati perhitungan yang jitu berdasarkan hati nurani yang bersih.
Orang yang paling beruntung memiliki hati yang sehat adalah orang yang dapat mengenal Allah Azza wa Jalla dengan baik.
Semakin cemerlang hatinya, maka akan semakin mengenal dia.
Penguasa jagat raya alam semesta ini. Ia akan memiliki mutu pribadi yang begitu hebat dan mempesona.
Tidak akan pernah menjadi ujub dan takabur ketika mendapatkan sesuatu, namun sebaliknya akan menjadi orang yang tersungkur bersujud.
Semakin tinggi pangkatnya, akan membuatnya semakin rendah hati.
Kian melimpah hartanya, ia akan kian dermawan.
Semua itu dikarenakan ia menyadari, bahwa semua yang ada adalah titipan Allah semata.
Tidak dinafkahkan di jalan Allah, pasti Allah akan mengambilnya jika Dia kehendaki.
Semakin bersih hati, hidupnya akan selalu diselimuti rasa syukur.
Dikaruniai apa saja, kendati sedikit, ia tidak akan habis-habisnya meyakini bahwa semua ini adalah titipan Allah semata, sehingga amat jauh dari sikap ujub dan takabur.
Persis seperti ucapan yang terlontar dari lisan Nabi Sulaiman AS, tatkala dirinya dianugerahi Allah berbagai kelebihan, "Haadzaa min fadhli Rabbii, liyabluwani a-asykuru am afkuru." (QS. An Naml [27] : 40).
Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku mampu bersyukur atau malah kufur atas nikmat-Nya.
Suatu saat bagi Allah akan menimpakkan ujian dan bala.
Bagi orang yang hatinya bersih, semua itu tidak kalah terasa nikmatnya.
Ujian dan persoalan yang menimpa justru benar-benar akan membuatnya kian merasakan indahnya hidup ini.
Karena, orang yang mengenal Allah dengan baik berkat hati yang bersih, akan merasa yakin bahwa ujian adalah salah satu perangkat kasih sayang Allah, yang membuat seseorang semakin bermutu.
Dengan persoalan akan menjadikannya semakin bertambah ilmu.
Dengan persoalan akan bertambahlah ganjaran. Dengan persoalan pula derajat kemuliaan seorang hamba Allah akan bertambah baik, sehingga ia tidak pernah resah, kecewa, dan berkeluh kesah karena menyadari bahwa persoalan merupakan bagian yang harus dinikmati dalam hidup ini.
Oleh karenanya, tidak usah heran orang yang hatinya bersih, ditimpa apapun dalam hidup ini, sungguh bagaikan air di relung lautan yang dalam.
Tidak pernah akan berguncang walaupun ombak badai saling menerjang.
Ibarat karang yang tegak tegar, dihantam ombak sedahsyat apapun tidak akan pernah roboh. Tidak ada putus asa, tidak ada keluh kesah berkepanjangan.
Yang ada hanya kejernihan dan keindahan hati. Ia amat yakin dengan janji Allah, "Laa yukalifullahu nafasan illa wus’ahaa." (QS. Al Baqarah [2] : 286).
Allah tidak akan membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya.
Pasti semua yang menimpa sudah diukur oleh-Nya. Mahasuci Allah dari perbuatan zhalim kepada hamba-hamba-Nya.
Ia sangat yakin bahwa hujan pasti berhenti. Badai pasti berlalu.
Malam pasti berganti menjadi siang. Tidak ada satu pun ujian yang menimpa, kecuali pasti akan ada titik akhirnya. Ia tidak berubah bagai intan yang akan tetap kemilau walaupun dihantam dengan apapun jua.
Memang luar biasa orang yang memiliki hati yang bersih.
Nikmat datang tak pernah membuatnya lalai bersyukur, sementara sekalipun musibah yang menerjang, sama sekali tidak akan pernah mengurangi keyakinan akan curahan kasih sayang-Nya.
Semua itu dikarenakan ia bisa menyelami sesuatu secara lebih dalam atas musibah yang menimpa dirinya, sehingga tergapailah sang mutiara hikmah.
Subhanallaah, sungguh teramat beruntung siapapun yang senantiasa berikhtiar dengan sekuat-kuatnya untuk memperindah qolbunya.***
Kematian Terindah
''Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (kematiannya), maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mungundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) mengajukannya.'' (QS Al-A'raf: 34). Banyak orang merasa ngeri menghadapi kematian. Padahal, kematian adalah perkara gaib yang sering kita saksikan dan pasti menjumpai kita. Persoalannya bukan kapan kematian itu datang. Akan tetapi, apa yang telah kita siapkan untuk bekal kematian itu, sehingga kematian yang menjemput tanpa memberi kabar menjadi saat terindah karena pada saat itu kita akan berjumpa dengan Allah SWT. Kematian yang dianggap mengerikan bagi kebanyakan manusia, justru menjadi saat terindah lagi mengharukan bagi orang bertakwa. Di saat ruhnya keluar dari jasad, saat itu Allah SWT memangilnya dengan lembut, ''Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.''(QS Al-Fajr: 27-30). Itulah kematian yang indah. Untuk menemui kematian yang indah itu, Allah SWT berfirman, ''Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul dari kamu yang membacakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kehawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.'' (QS Al-A'raf: 35). Untuk mencapai derajat ketakwaan, Allah SWT mengingatkan dengan firman-Nya, ''Sesungguhnya tiap-tiap kamu ada (malaikat) yang mengawasi pekerjaanmu. Yang diridhai di sisi Allah dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakaan.'' (QS Al-Infithaar: 10-12). Karena senantiasa diawasi, maka kita harus menjaga diri untuk tidak berbuat dosa, baik secara sembunyi maupun terang-terangan dan segera bertaubat jika melakukan khilaf dan dosa. ''Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat balasanya.'' (QS Az-Zalzalah: 7-8). Sesungguhnya Allah SWT tidak ridha pada kematian seseorang, kecuali matinya dalam keadaan berserah diri (muslim). ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan berserah diri (muslim).'' (QS Ali-Imron: 102). Kematian bagi seorang Muslim bukanlah hal yang mengkhawatirkan. Justru kematian akan menjadi saat yang ditunggu dan dirindu karena ingin bersegera melihat Tuhan yang selama ini ia sembah, Tuhan yang menciptakan dirinya, dan Tuhan yang memberinya rezeki.
Kasih Sayang
''Dan tiadalah Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat (pembawa kasih sayang) bagi seluruh alam.'' (QS Al-Anbiya: 107).
Ayat ini menjadi bukti bahwa Islam memperhatikan dan mengajarkan kasih sayang.
Bukan hanya untuk manusia, tetapi juga bagi makhluk lainnya.
Karena itu, segala bentuk aktivitas hendaknya dibangun dengan kasih sayang.
Rasulullah SAW menggambarkan kasih sayang di antara para pengikutnya. ''Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencinta, saling mengasihi, dan saling menyayang, bagaikan sebuah tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh merasa sakit, tidak dapat tidur dan terasa demam.'' (HR Muslim).
Kasih sayang akan mengantarkan keberuntungan di dunia dan akhirat.
Allah SWT telah menetapkan kasih sayang atas diri-Nya.
Dia menegaskan, ''Katakanlah, 'Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?' Katakanlah. 'Kepunyaan Allah.' Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.'' (QS Al-An'am: 12).
Allah SWT akan memberikan pahala dan ampunan-Nya bagi mereka yang menebarkan kasih sayang.
Imam Muslim meriwayatkan hadis yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bercerita, ''Pada suatu ketika, ada seorang laki-laki--di riwayat lain seorang perempuan pelacur bangsa Yahudi--sedang berjalan melalui sebuah jalan, lalu dia merasa sangat kehausan. Kemudian dia menemukan sebuah sumur, maka dia turun ke sumur itu untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dilihatnya seekor anjing menjulurkan lidah menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu berkata dalam hatinya, 'Alangkah hausnya anjing itu, seperti yang baru kualami.' Lalu dia turun kembali ke sumur, dicedoknya air dengan sepatunya, dibawanya ke atas dan diminumkannya kepada anjing itu.''
Lebih lanjut Imam Muslim menulis sabda Rasululla SAW, ''Maka Allah berterima kasih kepada orang itu dan diampuni-Nya dosanya.''
Mendengar keutamaan ini, para sahabat antusias bertanya kepada Nabi.
''Ya Rasulullah! Dapat pahalakah kami menyayangi hewan-hewan ini?'' tanya para sahabat. ''Menyayangi setiap makhluk hidup itu mendapat pahala,'' demikian jawaban Rasulullah.
Keutamaan lain, Allah SWT akan menyayangi orang-orang yang menebarkan dan mewujudkan kasih sayang. ''Dan sesungguhnya Allah hanya menyayangi orang-orang yang memiliki sifat kasih sayang,'' jelas Rasulullah SAW.
Sebaliknya, Allah SWT tidak akan menyayangi orang yang tidak menyayangi penduduk bumi (manusia).
''Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak menyayangi manusia.'' (HR Bukhari).(Sumber: Hikmah)
Keagungan Cinta
Seseorang datang ke Rasulullah SAW.
Ia bercerita telah menggendong ibunya di pundaknya sendirian selama menjalani seluruh rukun dan wajib haji.
Ia ingin mengetahui apakah perbuatannya itu telah dapat membalas kebaikan yang selama ini ditunjukkan ibunya di masa kanak-kanak.
Rasulullah SAW menjawab, ''Tidak, semua yang telah kau kerjakan itu belum dapat membalas satu kali rasa sakit karena kontraksi rahim ketika ibumu melahirkanmu ke dunia.''
Tanpa disadari, seringkali seorang anak berbuat maksiat kepada orang tuanya.
Padahal, keberadaannya di dunia tak lepas dari keikhlasan kasih sayang keduanya, terlebih sang ibu yang telah mempertaruhkan nyawa dalam persalinan.
Tak jarang anak menuntut sesuatu yang meniadakan cinta dan pengorbanan mereka, walaupun sekadar ucapan ''... ah,'' kepada ibunya.
Allah SWT dalam QS Al-Israa': 23 dengan tegas melarang seorang anak mengatakan itu.
Allah SWT menggariskan, jika orang tua mencintai anaknya, si anak kasih terhadap ayah ibunya, dan suami istri saling menyayangi, maka otomatis terengkuhlah sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Rasulullah SAW adalah figur utama dalam mengekspresikan cinta.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa al-Aqra' bin Haabis at-Tamimi mengunjungi Rasulullah SAW.
Ia merasa kagum melihat Rasulullah SAW mencium cucunya, Hasan. Al-Aqra' lalu berkata, ''Aku memiliki 10 orang anak, namun aku tidak pernah memeluk seorang pun dari mereka.'' Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa yang tidak menyayangi, niscaya ia tidak akan disayangi.'' (HR Bukhari).
Di antara kesibukannya sebagai kepala negara, Rasulullah SAW masih menyempatkan diri untuk memberikan perhatian kepada cucunya tersayang.
Islam membiarkan umatnya dalam memaknai dan membahasakan hakikat cinta antarsesama.
Cinta merupakan naluri manusia yang harus dipenuhi dengan benar dan sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri.
Kesalahan dalam pemenuhan ini akan menjadikan manusia gelisah dalam hidupnya.
Disebabkan oleh cinta Rasulullah SAW, sebuah komunitas yang biadab dapat dibimbing menuju peradaban yang hebat selama 14 abad lamanya.
Semua itu bersumber dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Keimanan dan ketakwaan yang mengalirkan kasih sayang dan kesegaran cinta, yang mengubah kekejaman menjadi kelembutan, kedurhakaan menjadi ketaatan, penindasan menjadi pengayoman, ketimpangan menjadi keadilan, dan peperangan menjadi perdamaian.
Jika mengaku mencintai Rasulullah SAW, mengapa kita tidak mengikuti pola cinta beliau. ''Katakanlah (hai Muhammad), 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS Ali Imran: 31).
Empati ~ Simpati
Dalam pergaulan kita mengenal istilah simpati dan empati.
Apa sih pengertian dari keduanya maupun perbedaannya?
Dari perbincangan dengan seorang rekan empati memang lebih kearah emosional dibandingkan dengan simpati.
Kita bisa spontan mengungkapkan rasa simpati kita tapi belum tentu bisa berempati.
Sebagai contoh ada rekan yang keserempet mobil, kita akan menaruh rasa simpati cuma dengan mengucapkan "oh kamu keserempet ya? gak apa-apa kan?", sedangkan kalo rasa empati dapat diungkapakan dengan lebih emosional seperti kita sendiri yang merasakannya dan kata-katanya pun akan berbeda.
Kali ini kita akan membicarakan rasa empati dari sisi yang lain.
Tak banyak yang menyadari kalau empati punya energi yang begitu besar.
Ada dua arah aliran energi yang terus mengalir.
Pertama, aliran menuju ke dalam diri si empunya empati.
Dan keluar, membiakkan energi baru yang menerima empati.
Pengaruhnya kedalam diri, empati memunculkan perasaan cukup.
Ada rasa puas dengan anugerah Allah: baik yang sedikit, apalagi banyak.
Perasaan inilah yang kian langka di dunia materialis.
Semakin gigih orang mengejar kepuasan hidup, semakin kepuasan itu menjauh.
Hidup menjadi ruangan yang menakutkan dan menggelisahkan.
Inilah rumus unik dari hati manusia.
Semakin banyak aksi empati, kian menutup rasa tidak cukup.
Mata air ketenangan diri pun kian deras mengalir, membasahi rongga-ronga hati yang sempat mengering.
Pengaruh keluar adalah, hampir otomatis, empati yang tulus melahirkan simpati yang begitu besar.
Kalau empati melahirkan energi ketenangan dan kepuasan, simpati membangkitkan energi harap atau optimisme.
Dan dari simpati pula, bisa lahir energi pembelaan dan pengorbanan.
Sayangnya, empati bisa tercederai dengan lingkungan materialis.
Empati jenis ini tidak gratis.
Persis seperti empati yang diperlihatkan seorang sales. "
Ada yang bisa kami bantu, Pak?"
Kalau jawabannya 'ya', maka empati bisa berbalas uang.
Tak beda dengan empati seperti itu, simpati pun bisa diolah mendapatkan keuntungan.
Jangan heran jika sebagian pengemis di Jakarta bisa berpenghasilan jutaan dalam sebulan.
Dalam cakupan yang lebih elit, pengolahan simpati yang apik bisa mengucurkan berbagai bantuan.
Kalau saja empati bisa terawat untuk tetap tulus, bersih, ikhlas; bukan cuma simpati penduduk bumi saja yang akan mengalir.
Yang di langit pun memberikan yang lebih bernilai. "
Kemurahan hati adalah dari kecemerlangan hati dan pemberian Allah. Bermurah hatilah, niscaya Allah bermurah hati kepadamu." (HR. Athabrani)
Sebetulnya rasa empati bisa diajarkan pada anak kita dari sejak kecil menurut artikel yang kita baca. So artikel tersebut akan kita turunkan lain waktu.
(Sumber Inspirasi: An-Nahl)
Tausiah AA Gym: Tiga Tugas Manusia
Bila semua yang dilakukan kita niatkan sebagai ibadah; sebagai sarana meraih ridha Allah, pasti hidup kita akan tenang.
Saudaraku, satu hal penting dalam hidup adalah memiliki tujuan.
Kita harus bisa menjawab: untuk apa kita hidup dan apa yang harus kita lakukan untuk mengisinya.
Memahami secara benar tujuan hidup, akan membuat semua yang kita lakukan lebih terarah, terfokus dan kita pun bisa terhindar dari perbuatan sia-sia.
Orang yang memiliki tujuan, walau lambat jalannya, jauh lebih baik dari orang yang melakukan percepatan tapi tidak memiliki tujuan.
Walau lambat, asal istikamah melangkah, insya Allah ia akan sampai ke tempat tujuan.
Setidaknya ada tiga tugas utama yang menanti kita, dan ke sanalah tujuan hidup kita arahkan.
Tugas pertama adalah beribadah kepada Allah SWT. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku," demikian firman Allah dalam QS Adz Dzaariyat [51] ayat 56.
Jadi, kita adalah hamba Allah. Kita harus yakin tiada penguasa yang kekal abadi selain Allah.
Kita harus yakin bahwa semua yang ada di dunia ini seratus persen ada dalam genggaman Allah. Juga, semua yang terjadi mutlak atas izin Allah. Hikmahnya, kita tidak boleh menjadi hamba apa pun, selain menjadi hamba Allah.
Saudaraku, bila semua yang dilakukan kita niatkan sebagai ibadah; sebagai sarana meraih ridha Allah, pasti hidup kita akan tenang.
Jaminan Allah tidak akan tertukar.
Masalahnya, sudah ikhlas atau belum niat kita; sudah benar atau belum ikhtiar kita?
Kedua, tugas sebagai khalifah. Allah Yang Mahamulia menjadikan kita sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi.
Maka, jangan pernah terbetik dalam pikiran untuk menyia-nyiakan amanah besar ini.
Jangan pernah terpikir untuk bertindak setengah-setengah, delapan puluh persen, atau sembilan puluh persen.
Lakukanlah seratus persen. Lakukan secara maksimal, agar hasil yang kita dapatkan maksimal pula.
Saudaraku, hidup hanya sekali. Maka lakukanlah yang terbaik, agar saat kematian kelak, kita tengah berada di puncak prestasi.
Boleh jadi inilah rahasia mengapa Allah merahasiakan kematian kita.
Tujuannya tidak lain agar kita bersungguh-sungguh dan melakukan yang terbaik kapan pun dan di mana pun.
Kita harus maksimal dalam bekerja agar mendapatkan uang banyak.
Kiat pun harus maksimal dalam belajar agar menjadi pintar.
Tentu, semuanya bukan untuk memperkaya dan memintarkan diri, kita mampu mensejahterakan dan memintarkan orang lain.
Kita cukup menjadi perantara saja. Jadilah manusia terbaik. Yaitu manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Ketiga, tugas untuk berdakwah.
Saudaraku, di mana pun kita ada, kita harus berdakwah menyebarkan nilai-nilai Islam.
Tentu, cara dakwah kita harus sesuai dengan tuntunan dari Rasulullah SAW.
Setidaknya ada dua formula dakwah yang bisa kita terapkan, yaitu :
1. Menjadi bukti keindahan Islam. Akhlak kita harus mencerminkan nilai-nilai Islam, mulai dari cara makan, bergaul, berkata, bersikap, berkeluarga, hingga berpolitik harus bisa mencerminkan indahnya Islam.
2. Dakwah yang kita lakukan bukan untuk menghakimi, tapi untuk membantu; membantu orang yang tidak paham, menjadi paham Islam; membantu orang yang lupa menjadi ingat; membantu orang bodoh menjadi pintar; membantu orang lalai menjadi sungguh-sungguh, dst.
Tugas kita hanyalah memberi peringatan.
Wallahu a'lam.
(KH Abdullah Gymnastiar)
Memaafkan, Derajat Kemuliaan Diri
Frendz, ingat gak kisah saat Rasulullah menolak bantuan yang ditawarkan Jibril buat menimpakan gunung pada masyarakat Thaif yang telah menghina Rasulullah dan para sahabat? Kala itu, Rasul membalas perlakuan masyarakat Thaif hanya dengan memaafkan mereka.Sebuah sikap bijak yang jadi salah satu bukti betapa Rasulullah sangat pemaaf. Kisah lain menunjukkan saat beliau menjadi orang pertama yang menjenguk seorang Quraisy kala sakit, meski sebelumnya tak bosan-bosannya meludahi Rasulullah tiap hari. Sungguh Allah-lah yang mampu memelihara hati sedemikian suci, jiwa sebegitu besar.
Memaafkan, menjadi kata yang yang mudah diucapkan, namun teramat sulit untuk dilakukan.Kita mungkon pernah merasa tersakiti karena canda yang dilontarkan seorang teman. Sakit hati yang menyebabkan sangat sulit berkonsentrasi. Berhari-hari, bahkan berbilang minggu, rasa itu masih belum hilang juga. Sulit sekali rasanya untuk memaafkan, meskipun memaafkan menjadi jalan untuk melupakan yang sudah terjadi, mengambil hikmahnya, juga menjalankan kehidupan kembali normal.
Andrew Matthews, penulis buku Being Happy, menuliskan bahwa dengan tidak memaafkan orang yang menyakiti kita, satu-satunya orang yang akan dirugikan adalah diri kita sendiri. Tidak memaafkan berarti akan menghancurkan hidup kita karena pikiran akan selalu terbawa emosi, sakit hati & kecewa. Dengan memaafkan seseorang, bukan berarti kita setuju dengan apa yang mereka lakukan. Mereka mungkin salah meskipun tidak mereka sadari dan merekapun gak perlu buat minta maaf.
Merenungi makna subhanallah, kita tahu bahwa hanya Allah Swt yang Maha Suci, sementara manusia adalah tempat salah dan alpa. Seorang bijak pernah berkata, kesempurnaan manusia adalah dengan ketidaksempurnaannya. Allah Swt berfirman dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 134: “... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang”. Dengan demikian, Allah Swt menyukai orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan orang lain.
Memaafkan, bukan hanya merupakan sikap mulia sesuai pesan Nabi Muhammad Saw, tapi juga baik bagi kesehatan dan ketenangan jiwa. Hidup kita mudah-mudahan akan berjalan dengan lebih baik karena kita tidak disibukkan dengan perasaan kecewa dan sakit hati atas perbuatan orang lain. Seperti yang dicontohkan Nabi, memaafkan seseorang tidak akan menurunkan derajat orang yang memaafkan di mata orang yang melakukan kesalahan
So, maafkan kesalahan orang lain meski mereka gak mengakui apapun kesalahannya.
(makasih buat Tamsil atas lukisannya)
Berdiam Diri
"Barang siapa yang banyak perkataannya, niscaya banyaklah kilafnya. Barang siapa yang banyak kilafnya, niscaya banyaklah dosanya. Dan barang siapa yang banyak dosanya, niscaya Neraka lebih utama baginya". ( Riwayat Abu Naim )
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam". ( Riwayat Bukhari & Muslim )
"Barang siapa diam maka ia terlepas dari bahaya". ( Riwayat At-Tirmidzi )
Apa seh maksudnya?
Bicara yang baik akan membawa keselamatan dan kebaikan kepada manusia, jika bicara tidak mengikut adabnya, manusia akan merana di dunia dan di akhirat.
Manusia yang tidak menjaga bicara akan dibenci oleh manusia lain manakala di akhirat bicara yang menyakiti hati orang lain akan menyebabkan kita terseksa di dalam Neraka Allah SWT.
Bagi mereka yang beriman, lidah yang dikurniakan oleh Allah itu tidak akan digunakan untuk berbicara sesuka hati dan sia-sia.
Lidah hendaklah digunakan untuk mengeluarkan mutiara-mutiara yang berhikmah.
Diam adalah benteng bagi lidah manusia daripada mengucapkan perkataan yang sia-sia.
Sekiranya kita tidak dapat bercakap ke arah perkara-perkara yang baik, maka jalan yang terbaik ialah diam.
Bicara yang baik adalah lambang hati yang baik dan bersih yang bergantung kepada kekuatan iman pada diri seseorang.
Hikmah dari berdiam diri:
Sebagai ibadah tanpa bersusah payah.
Perhiasan tanpa berhias.
Kehebatan tanpa kerajaan.
Benteng tanpa pagar.
Kekayaan tanpa meminta maaf kepada orang.
Istirahat bagi kedua malaikat pencatat amal.
Menutupi segala aib.
Banyak diam tidak semestinya bodoh, banyak bicara tidak semestinya cerdik, kerana kecerdikan itu buah fikiran, orang cerdik yang pendiam lebih baik dari orang bodoh yang banyak cakap.
Menasihati orang bersalah, tidak salah.
Yang salah memikirkan kesalahan orang.
Kalau orang menghina kita, bukan kita yang terhina, sebenarnya orang itu yang menghina dirinya sendiri.
Manusia tidak akan dapat mengalahkan syaitan kecuali dengan diam.
(sumber: dari berbagai)
Jadikan Keridhaan Dengan Mengosongkan Hati
''Ridhalah dengan apa yang dibagikan Allah SWT untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya.'' (HR Turmudzi). Penggalan hadis Rasulullah SAW di atas merupakan bentuk nyata betapa susahnya menumbuhkan rasa qanaah atau merasa cukup. Hadis itu mengandung maksud orang paling kaya adalah mereka yang qanaah atas apa pun pemberian Allah SWT. Betapa positif dan bermartabatnya hidup ini bila seseorang selalu merasa ridha dan cukup dengan segala kondisinya. Dengan qanaah, yang sedikit akan menjadi banyak dan yang banyak akan menjadi berkah.
Kesenangan tidak akan sempurna dan nikmat tidak akan menjadi besar kecuali dengan memutuskan angan-angan memiliki seperti yang dimiliki orang lain. Memang sebagai pebisnis maupun profesional kita harus bermimpi setinggi langit. Mimpi hanya akan menjadi harapan apabila disertai usaha yg sungguh-sungguh disertai tawakal kapada-Nya, namun hanya akan menjadi angan-angan apabila didominasi nafsu dan keinginan semata. Yang terpenting dan bernilai di hadapan Allah adalah apa yang kita kerjakan dan bagaiamana sikap kita menghadapinya, bukan pencapaian mimpi itu sendiri.
Sikap tidak menerima atas apa yang telah dimiliki, hanya akan menguras keterkaitan hati dengan Allah SWT. Akibatnya, kehidupan yang sebenarnya tidak akan bisa dirasakan. Allah SWT berjanji kepada orang yang hatinya dipenuhi keridhaan akan memenuhi hatinya dengan kekayaan, rasa aman, penuh dengan cinta, dan tawakkal kepada-Nya. Sebaliknya, bagi yang tidak ridha, hatinya akan dipenuhi dengan kebencian, kemungkaran, dan sikap durhaka.
Pantaskah sebagai seorang hamba mengaku kekurangan, sementara pada waktu yang sama, kita masih memiliki akal. Andai kata akal itu dibeli orang atau menukarnya dengan emas dan perak sebesar gunung, kita pasti enggan menerimanya. Kita memiliki dua mata yang sekiranya dibayar dengan permata sebesar Gunung Uhud, pasti tidak rela. Saat ini banyak orang enggan mengakui dan menyebut dirinya orang paling kaya. Kekayaan hanya mereka ukur dengan materi, banyaknya harta, dan pangkat yang tinggi.
Bersyukurlah atas nikmat hidayah Islam, akal, kesehatan, pendengaran, penglihatan, rezeki, keluarga, penutup (aib), dan nikmat lain yang tak terhitung. Sebab, di antara manusia itu ada yang kufur, hilang akalnya, terampas kesehatannya, dipenjara, dilumpuhkan, atau ditimpakan bencana.
Kini saatnya untuk menyadari bahwa kita sebenarnya adalah orang yang paling kaya. Bersyukurlah dengan apa yang kita miliki, sehingga hidup lebih bermakna, berkah, serta lebih berarti. Jadikanlah keridhaan itu dengan mengosongkan hati dari berbagai sangkaan dan membiarkannya hanya untuk Allah SWT.
Kekuatan Cinta
Kekuatan cinta memang luar biasa. Orang yang jatuh cinta akan rela mengorbankan apa saja demi yang ia cintai. Cinta menjadikan segalanya indah, meski harus dilalui dengan penderitaan.
Kekuatan cinta itulah yang menjadikan Bilal bin Rabbah lebih memilih dijemur di padang pasir yang panas daripada harus kembali kafir, meski sebongkah batu besar menindih hingga nyaris meremukkan tulang dadanya. Dengan tenang ia menyebut nama kekasihnya, ''Ahad, Ahad, Ahad.'' Begitu pula dengan Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya sahabat Rasulullah SAW. Ia rela menghabiskan hartanya untuk kepentingan jihad fisabilillah. Semuanya atas dasar cinta.
Sahabat lainnya juga merasakan betapa dahsyatnya kekuatan cinta itu. Mereka rela berhijrah ke Madinah dengan berjalan kaki bermil-mil jauhnya, melintasi padang pasir yang kering dan panas demi menyelamatkan akidah. Karena cintanya pada Allah SWT, dengan gagah berani mereka bergegas pergi ke medan perang. Tanpa rasa takut, harta, darah, dan nyawa, mereka pertaruhkan dengan tebasan pedang dan tombak demi membuktikan cintanya yang tulus. Cinta melahirkan pengorbanan dan prioritas.
Bukti cinta kepada Allah bukanlah hanya cerita masa lalu. Saat ini kitapun bisa menyaksikan saudara-saudara kita yang begitu mencintai Allah, meski harta dan nyawa taruhannya. Saya teringat kisah beberapa saudara kita di Medan yang begitu mendengar musibah Tsunami di Aceh, mereka langsung pergi membawa sepeda dan bekal secukupnya untuk menyelamatkan umat yang tersisa. Begitu menempuh medan yang tak mungkin dilalui kendaraan, merekapun segera mengayuh sepeda bermil-mil untuk mencapai daerah bencana, meski tak satupun pers meliputnya. Bahkan ada seorang sukarelawan dari Jakarta yang sampai diamputasi tangannya setelah mengangkat beberapa jenazah sehingga tangannya terkena panyakit.
Mungkin kita pernah menjumpai seorang pedagang, karyawan, sopir, yang secara penghasilan sangat pas-pasan bahkan mungkin "terdzalimi" namun mereka tetap bertahan di tempat kerjanya hanya karena alasan dakwah. "Kalo bukan kita yang mengurus umat di sini, siapa lagi?" begitu kata mereka. Padahal mungkin mereka bisa pindah ke tempat yang lebih "basah" dan mengejar harta di tempat lain. Rasanya tak ada motivasi lain pada diri mereka, selain karena mencintai Allah.
Sungguh jika kita mencintai Allah, maka Allah pun akan mencintai dan menolong kita. Jika kita mencintai Allah, niscaya kita rela mengorbankan segalanya dengan pengorbanan yang terbaik. Jika benar mencintai Allah SWT, niscaya kita mengambil dunia ini hanya sekadarnya. Mencari harta bukan untuk bermegah-megahan, tapi sebagai sarana ibadah. Jika benar mencintai Allah, niscaya kita akan bergegas wudhu ketika adzan dikumandangkan, karena hakikat adzan adalah panggilan Sang Kekasih. Jika benar mencintai Allah SWT, tentu setiap sepertiga malam kita bangun mengerjakan shalat tahajud, meski lelah, kantuk, dan dingin mendera. Jika kita memang mencintai Allah, tentu kita akan peduli terhadap kondisi akidah dan kesejahteraan umat.
Ibadah tanpa didasari cinta akan terasa berat dan sia-sia. Sebagai orang yang mengaku beriman, betulkan kita sudah mencintai Allah?Sudah sejauh mana kita mencintai-Nya melebihi cinta kita kepada yang lain?
Surga adalah kado terindah yang akan diterima oleh orang yang mencintai Allah pada saat perjumpaan pertamanya dengan Sang Kekasih. ''Katakanlah (hai Muhammad), jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.'' (QS. Ali-Imran: 31).
Tahajjud Penenang Hati
Allah SWT berfirman, ''Dan pada sebagian malam, bershalat Tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.'' (QS. Al-Israa': 79). Firman Allah ini merupakan salah satu dasar anjuran disyariatkannya shalat Tahajud. Bahkan, shalat Tahajud menduduki posisi kedua setelah shalat wajib. Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Shalat yang manakah yang paling utama setelah shalat wajib?'' Rasulullah SAW menjawab, ''Shalat Tahajud!'' (HR Muslim).
Tahajud sendiri artinya bangun dari tidur. Dengan demikian, shalat Tahajud adalah shalat yang dikerjakan di malam hari dan dilaksanakan setelah tidur terlebih dahulu, walaupun tidurnya hanya sebentar. Shalat Tahajud yang dilakukan di tengah malam, di mana kebanyakan manusia terlelap dalam tidurnya dan berbagai aktivitas hidup berhenti, serta suasana begitu hening, sunyi, dan tenang, sangat menunjang konsentrasi seseorang yang akan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di samping kondisi eksternal ini, juga terdapat kondisi internal, yaitu sebuah ketenangan yang dirasakan oleh batin manusia yang melakukan shalat Tahajud.
Ketenangan dan ketenteraman yang diperoleh oleh seseorang yang melakukan shalat Tahajud memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi. Sebab, dalam shalat Tahajud terdapat dimensi dzikrullah (mengingat Allah). Ini sebagaimana firman Allah SWT, ''(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.'' (QS. Ar-Ra'd: 28). Bila kita ingin mendapatkan rasa tenang dan tenteram, maka berdekat-dekatlah kepada Dia Yang Mahatenang dan Mahatenteram, agar sifat-sifat itu mengimbas kepada kita.
Shalat Tahajud yang dikerjakan dengan ikhlas, selain mendapatkan pahala, juga akan mampu mengurangi beban kejiwaan yang sedang menyelimuti seseorang. Allah SWT berfirman, ''Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari.'' (QS. Al-Muzammil: 1-2). Kata berselimut dalam ayat di atas secara kontekstual dapat diartikan dengan orang yang sedang dirundung masalah: kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran, atau ketakutan karena menghadapi berbagai kemungkinan yang menimpanya. Sebab, ayat tadi turun setelah Rasulullah SAW mulai mendapatkan olok-olok dan ancaman dari kaum Quraisy.
Shalat Tahajud merupakan kebutuhan dalam menghadapi problem kehidupan yang pasti menimpa semua orang. Rasulullah SAW bersabda, ''Kalian harus mengerjakan shalat malam, sebab itu kebiasaan orang-orang saleh sebelummu, jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, penebus dosa dan kejelekan, serta penangkal penyakit dari badan.'' (HR Tirmidzi).
***
Saat dosa dan masalah selalu bertambah. Saat lelah, resah dan gelisah mendominasi diri ini… Masihkah kita begitu angkuh untuk mencurahkan isi hati dan memohon pertolongan-Nya di penghujung malam? Generasi shalafus shaleh banyak yang mendapat masalah dengan cemohan bahkan siksaan kaumnya, apalagi masalah dengan kehidupan ekonomi dan keluarganya. Mereka merindukan shalat di penghujung malam sehingga hati mereka menjadi tenteram dan semangat hidup tumbuh kembali. Masihkah kita mengandalkan tidur yang panjang, yoga, semedi, dan pernafasan tenaga dalam sebagai sandaran untuk menentramkan hati ini? (Sumber: Republika)
Selamat Tahun Baru 1427 H
Rasa Syukur Kita Sampaikan Pada ALLAH, Penguasa segala yang Hidup
Yang telah menghujani kita dengan berbagai macam nikmat.
Nikmat hidup salah satunya.
Di tahun baru ini
Sepantaslah kita untuk merefleksikan diri.
Apakah yang sudah di lakukan selama di dunia ini?
Sudahkah kita melaksanakan segala perintah-NYA,
ataukah kita lupa dan terbuai
dengan kehidupan yang fana ini.