Berpuasa Menebar Kasih Sayang
Maidât al-Rahmân. Istilah ini amat populer bagi masyarakat Muslim, khususnya di bulan Ramadhan. Di dunia Arab, istilah itu diartikan sebagai hidangan yang diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang menunaikan ibadah puasa.Bila azan magrib dikumandangkan, masyarakat Muslim berbondong-bondong guna menyantap hidangan itu, buka puasa. Pemandangan seperti ini juga ada di pelbagai masjid di Tanah Air, khususnya Masjid Istiqlal dan pelbagai masjid raya di kota-kota besar.
Spirit kasih sayang
Tentu saja, tradisi itu merupakan salah satu khazanah kebaikan di bulan Ramadhan, yang mungkin sulit ditemukan di bulan-bulan lainnya. Bagi masyarakat Muslim, ibadah puasa mempunyai magnet tersendiri untuk menggugah kesadaran filantropis. Yaitu kesadaran untuk menderma dan menyalurkan bantuan bagi mereka yang tidak mampu, fakir miskin dan anak yatim. Ada spirit kasih sayang dalam puasa.
Di sini, keistimewaan bulan puasa terpancar, menembus relung hati yang terdalam sembari menggugah kesadaran primordial setiap insan.
Berpuasa tak semata-mata menahan dahaga dan lapar, tetapi juga merupakan refleksi teologis untuk membumikan amal saleh dan kasih sayang dalam tindak laku. Karena itu, puasa yang mulanya merupakan implementasi dari rukun agama semata, kemudian menjadi sebuah laku sosial yang sangat konstruktif.
Perbedaan bulan puasa dengan bulan-bulan lain tercermin pada logika keberagamaan yang perlu mendapat perhatian. Bila pada bulan-bulan selain Ramadhan, masyarakat umumnya disibukkan dengan urusan mengumpulkan harta benda, memperkaya diri, bahkan korupsi secara berkelompok, tetapi pada bulan puasa ada jeda untuk melakukan refleksi diri (muhâsabah). Stop keserakahan dan korupsi!
Selama sebulan penuh, umat Muslim merasakan dahaga dan lapar secara bersama, apa pun status sosial dan jabatannya. Kiai, ulama, umat, bahkan mereka yang mendapat amanat jabatan publik juga harus melakukan ibadah puasa.
Karena itu, puasa dapat menjadi landasan pacu untuk membangkitkan gairah dan spirit kebajikan umum. Apa pun jabatan dan status sosial, tatkala mereka berpuasa, sebenarnya mereka mempunyai tanggung jawab untuk turut serta merasakan penderitaan orang lain.
Bagi mereka yang selama ini berkecukupan dan berpenghasilan di atas rata-rata, dahaga dan lapar hanya dirasakan selama bulan puasa. Itu pun bila mereka benar-benar berpuasa. Namun, bagi mereka yang miskin atau mereka yang tidak punya pekerjaan, tentu saja dahaga dan lapar merupakan kondisi yang biasa dan harus dialui, dialami, dan dirasakan setiap saat.
Karena itu, puasa menghadirkan makna yang amat penting dalam ranah sosial. Berbagai makna itu antara lain:
Pertama, puasa sejatinya dapat menggugah kesadaran tentang adanya yang lain, yang membutuhkan uluran tangan dan pemikiran jernih. Puasa harus bermakna bagi upaya mengetuk nurani kita masing-masing agar memberikan perhatian terhadap mereka yang membutuhkan bantuan, pertolongan, dan perlindungan. Tradisi Maidât al- Rahmân sebagaimana dipraktikkan di dunia Arab dan dunia Islam umumnya dapat menjadi salah satu tradisi yang sebenarnya tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan, tetapi juga di bulan-bulan lain. Karena penderitaan tidak hanya terjadi pada bulan puasa, tetapi terjadi di sepanjang masa. Di sinilah ajaran kedermawanan yang tersirat di balik puasa harus selalu dikumandangkan.
Kedua, puasa harus mampu membangun kesadaran tentang kasih sayang dalam keragaman. Dalam Al Quran disebutkan, puasa merupakan ibadah yang diwajibkan tidak hanya bagi umat Muslim, tetapi juga kepada umat- umat agama sebelum Islam. Lalu, Tuhan menyebutkan tujuan puasa adalah ketakwaan (QS al-Baqarah [2]: 183). Imam al-Razi dalam Tafsîr Mafâtîh al-Ghayb berpendapat, yang dimaksud ketakwaan dalam ayat itu adalah upaya menghilangkan syahwat dan nafsu kebinatangan sehingga tidak mengakibatkan munculnya prahara, kejahatan, dan perselisihan. Dalam hal ini, terutama nafsu yang dimunculkan dari perut dan anggota tubuh di bawah perut (al-bathnu wa al-farju).
Ciri Muslim sejati
Dalam membangun kasih sayang, tidak bisa dielakkan puasa dapat memberi kontribusi yang sangat besar. Karena puasa dapat menghadirkan kesabaran.
Rasulullah bersabda, puasa adalah separuh dari kesabaran dan kesabaran adalah separuh dari iman. Jadi, mereka yang menunaikan ibadah puasa tidak semestinya melakukan tindakan kekerasan, penyerangan, dan pengusiran. Karena puasa hakikatnya merupakan tangga untuk membangun kesabaran. Dan kesabaran merupakan ciri-ciri orang muslim yang sejati. Dalam pepatah Arab disebutkan, perumpamaan kesabaran seperti minuman yang mulanya terasa pahit, tetapi bila ditenggak rasanya manis seperti madu.
Di bulan yang suci ini semestinya kasih sayang dapat diwujudkan dalam hati dan perilaku sehari-hari. Dalam puasa tersirat pendidikan Ilahi untuk membangun peradaban kesabaran, yang makin lama makin terasa langka. Maka dari itu, puasa harus dapat mengerem pelbagai tindak yang tidak sejalan dengan fitrah kemanusiaan, sebagaimana digariskan Tuhan dalam Kitab Suci-Nya. Saatnya di bulan penuh berkah ini ditebarkan kasih sayang kepada seluruh ciptaan Tuhan.
(Zuhairi Misrawi, Intelektual Muda NU)