Monday, September 25, 2006

Berpuasa Menebar Kasih Sayang

Maidât al-Rahmân. Istilah ini amat populer bagi masyarakat Muslim, khususnya di bulan Ramadhan. Di dunia Arab, istilah itu diartikan sebagai hidangan yang diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang menunaikan ibadah puasa.

Bila azan magrib dikumandangkan, masyarakat Muslim berbondong-bondong guna menyantap hidangan itu, buka puasa. Pemandangan seperti ini juga ada di pelbagai masjid di Tanah Air, khususnya Masjid Istiqlal dan pelbagai masjid raya di kota-kota besar.

Spirit kasih sayang
Tentu saja, tradisi itu merupakan salah satu khazanah kebaikan di bulan Ramadhan, yang mungkin sulit ditemukan di bulan-bulan lainnya. Bagi masyarakat Muslim, ibadah puasa mempunyai magnet tersendiri untuk menggugah kesadaran filantropis. Yaitu kesadaran untuk menderma dan menyalurkan bantuan bagi mereka yang tidak mampu, fakir miskin dan anak yatim. Ada spirit kasih sayang dalam puasa.


Di sini, keistimewaan bulan puasa terpancar, menembus relung hati yang terdalam sembari menggugah kesadaran primordial setiap insan.
Berpuasa tak semata-mata menahan dahaga dan lapar, tetapi juga merupakan refleksi teologis untuk membumikan amal saleh dan kasih sayang dalam tindak laku. Karena itu, puasa yang mulanya merupakan implementasi dari rukun agama semata, kemudian menjadi sebuah laku sosial yang sangat konstruktif.

Perbedaan bulan puasa dengan bulan-bulan lain tercermin pada logika keberagamaan yang perlu mendapat perhatian. Bila pada bulan-bulan selain Ramadhan, masyarakat umumnya disibukkan dengan urusan mengumpulkan harta benda, memperkaya diri, bahkan korupsi secara berkelompok, tetapi pada bulan puasa ada jeda untuk melakukan refleksi diri (muhâsabah). Stop keserakahan dan korupsi!

Selama sebulan penuh, umat Muslim merasakan dahaga dan lapar secara bersama, apa pun status sosial dan jabatannya. Kiai, ulama, umat, bahkan mereka yang mendapat amanat jabatan publik juga harus melakukan ibadah puasa.
Karena itu, puasa dapat menjadi landasan pacu untuk membangkitkan gairah dan spirit kebajikan umum. Apa pun jabatan dan status sosial, tatkala mereka berpuasa, sebenarnya mereka mempunyai tanggung jawab untuk turut serta merasakan penderitaan orang lain.
Bagi mereka yang selama ini berkecukupan dan berpenghasilan di atas rata-rata, dahaga dan lapar hanya dirasakan selama bulan puasa. Itu pun bila mereka benar-benar berpuasa. Namun, bagi mereka yang miskin atau mereka yang tidak punya pekerjaan, tentu saja dahaga dan lapar merupakan kondisi yang biasa dan harus dialui, dialami, dan dirasakan setiap saat.

Karena itu, puasa menghadirkan makna yang amat penting dalam ranah sosial. Berbagai makna itu antara lain:
Pertama, puasa sejatinya dapat menggugah kesadaran tentang adanya yang lain, yang membutuhkan uluran tangan dan pemikiran jernih. Puasa harus bermakna bagi upaya mengetuk nurani kita masing-masing agar memberikan perhatian terhadap mereka yang membutuhkan bantuan, pertolongan, dan perlindungan. Tradisi Maidât al- Rahmân sebagaimana dipraktikkan di dunia Arab dan dunia Islam umumnya dapat menjadi salah satu tradisi yang sebenarnya tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan, tetapi juga di bulan-bulan lain. Karena penderitaan tidak hanya terjadi pada bulan puasa, tetapi terjadi di sepanjang masa. Di sinilah ajaran kedermawanan yang tersirat di balik puasa harus selalu dikumandangkan.

Kedua, puasa harus mampu membangun kesadaran tentang kasih sayang dalam keragaman. Dalam Al Quran disebutkan, puasa merupakan ibadah yang diwajibkan tidak hanya bagi umat Muslim, tetapi juga kepada umat- umat agama sebelum Islam. Lalu, Tuhan menyebutkan tujuan puasa adalah ketakwaan (QS al-Baqarah [2]: 183). Imam al-Razi dalam Tafsîr Mafâtîh al-Ghayb berpendapat, yang dimaksud ketakwaan dalam ayat itu adalah upaya menghilangkan syahwat dan nafsu kebinatangan sehingga tidak mengakibatkan munculnya prahara, kejahatan, dan perselisihan. Dalam hal ini, terutama nafsu yang dimunculkan dari perut dan anggota tubuh di bawah perut (al-bathnu wa al-farju).

Ciri Muslim sejati
Dalam membangun kasih sayang, tidak bisa dielakkan puasa dapat memberi kontribusi yang sangat besar. Karena puasa dapat menghadirkan kesabaran.
Rasulullah bersabda, puasa adalah separuh dari kesabaran dan kesabaran adalah separuh dari iman. Jadi, mereka yang menunaikan ibadah puasa tidak semestinya melakukan tindakan kekerasan, penyerangan, dan pengusiran. Karena puasa hakikatnya merupakan tangga untuk membangun kesabaran. Dan kesabaran merupakan ciri-ciri orang muslim yang sejati. Dalam pepatah Arab disebutkan, perumpamaan kesabaran seperti minuman yang mulanya terasa pahit, tetapi bila ditenggak rasanya manis seperti madu.

Di bulan yang suci ini semestinya kasih sayang dapat diwujudkan dalam hati dan perilaku sehari-hari. Dalam puasa tersirat pendidikan Ilahi untuk membangun peradaban kesabaran, yang makin lama makin terasa langka. Maka dari itu, puasa harus dapat mengerem pelbagai tindak yang tidak sejalan dengan fitrah kemanusiaan, sebagaimana digariskan Tuhan dalam Kitab Suci-Nya. Saatnya di bulan penuh berkah ini ditebarkan kasih sayang kepada seluruh ciptaan Tuhan.

(Zuhairi Misrawi, Intelektual Muda NU)

Bulan Suci Dengan Hati Suci

Setiap agama memiliki doktrin kesucian tempat dan waktu. Diharapkan umat beragama saling menghargai keyakinan serta ritual umat lainnya.

Di antara doktrin yang mencolok pada setiap agama adalah perintah bersembahyang dan berdoa serta berpuasa meski dengan keyakinan dan cara berbeda-beda. Meski perintah ibadah masuk wilayah agama, dalam pelaksanaannya unsur budaya tidak bisa dipisahkan.

Pelaksanaan puasa dan Lebaran, misalnya, aspek budayanya amat kental sehingga setiap negara memiliki kekhasan masing-masing. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, ada tradisi yang disebut nyekar sebelum datangnya Ramadhan. Orang melakukan ziarah dan membersihkan kuburan. Ada lagi tradisi padusan, yaitu mandi ramai-ramai sehari sebelum puasa untuk menyucikan diri sebagai persiapan memasuki bulan suci. Belum lagi berbagai jenis masakan yang hanya populer selama bulan Ramadhan. Ini semua menunjukkan bahwa agama dan budaya begitu menyatu, berkaitan, dan saling mengisi.

Dalam ibadah puasa ada tiga aspek yang fundamental, yaitu pendekatan diri kepada Tuhan, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial. Dengan ibadah puasa, seorang yang beriman berusaha mengaktifkan kekuatan rohaninya lalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin. Dengan kedekatan dan intensitas berkomunikasi dengan Tuhan, sebuah proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai ilahi dalam diri seseorang diharapkan akan terjadi. You are what you think, kata orang bijak.

Bahwa apa yang selalu dipikirkan, dibayangkan, dan dirasakan akan memengaruhi dan menggerakkan perilaku seseorang, jika hati dan pikiran selalu terikat dan tertuju kepada Allah Yang Mahakasih, maka kasih Allah akan merasuk ke dalam diri kita sehingga kita menjadi instrumen Tuhan sebagai penyebar kasih dan kebajikan. Namun, untuk meraih prestasi ini mensyaratkan kita untuk membuka diri, membersihkan, dan membuang jauh-jauh berbagai pikiran, perasaan, serta perilaku kotor karena akan menghalangi cahaya dan energi ilahi untuk turun (nuzul) ke dalam diri kita.

Efek sosial puasa
Ada tiga aspek yang bisa diamati sebagai buah dari puasa, yaitu kesehatan fisik dan mental serta kesalehan sosial. Ketiganya bisa diamati dengan pendekatan medis dan psikologis, apakah efek yang ditimbulkan puasa bagi seseorang. Berbagai kajian ilmiah menunjukkan, dampak puasa amat positif bagi kesehatan dan pembinaan mental.

Namun, menyangkut aspek metafisik-spiritual, hal itu kita serahkan sepenuhnya kepada Allah karena seseorang tidak punya kewenangan dan kemampuan untuk mengukur keikhlasan dan ketakwaan seseorang. Tak ada yang tahu kualitas dan kedalaman puasa seseorang kecuali Allah. Dan sungguh, ketika menjalani puasa, seseorang merasakan betul kehadiran Allah di mana pun ia berada sehingga ia senantiasa berlaku jujur, senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan dan kedamaian. Efek sosialpsikologis puasa mudah sekali kita amati dan rasakan terutama selama bulan Ramadhan. Tibatiba kita menemukan aura spiritual yang begitu kental dalam keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat. Televisi serta radio pun berlomba menyajikan acara keagamaan semenarik mungkin.

Tiba-tiba kita merasakan terjadinya perubahan amat drastis, mayoritas masyarakat Indonesia berubah menjadi santun, mampu menahan diri, jujur, dan tidak ingin menyakiti orang lain. Pendeknya, selama Ramadhan kita menemukan masyarakat yang beradab dan religius.
Demikianlah, menurut Al Quran, salah satu hikmah puasa adalah untuk mendidik jiwa agar mencapai derajat takwa, pribadi yang mampu menahan diri dari berbagai godaan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun, lagi-lagi, pertanyaan yang selalu muncul adalah mengapa—ibarat baterai telepon seluler—daya setrumnya hanya bertahan sebulan? Bukankah mestinya puasa sebulan memiliki daya setrum penyebar kebajikan setidaknya selama setahun?

Salah alamat
Terhadap pertanyaan itu, ada dua kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Pertama, kita menjalani puasa tidak sungguh-sungguh sehingga yang didapat bisa jadi lebih pada hikmah fisikal, minimal badan menjadi lebih sehat. Namun, target pembinaan pribadi unggul dengan berpuasa tidak diraih. Kedua, jika aktivitas puasa diharapkan bisa memberantas korupsi dan sekian kejahatan yang merebak dalam masyarakat dan birokrasi, mungkin harapan itu salah alamat karena sebenarnya pemberantasan korupsi sungguh naif jika diharapkan dari gerakan moral-spiritual saja.

Bagi sebagian orang, bulan suci Ramadhan merupakan bulan untuk meng-up grade dan revitalisasi diri sehingga hidup ini senantiasa dipandu kekuatan spiritual. Lewat puasa kita kembalikan dan perkokoh nurani untuk menjadi pemimpin kehidupan.
Kita mesti bersikap positif karena yakin, bulan Ramadhan pasti mendatangkan berkat dan rahmat bagi kita semua.

Puasa sosial
Sebaiknya pemerintah bisa dan mau menjadikan tradisi dan ibadah puasa sebagai aset dan elemen pembangunan bangsa, karena ibadah puasa dan tradisi Lebaran telah berakar kuat dalam masyarakat dan mengandung kekuatan moral yang sangat besar. Salah satu pesan sosial ibadah puasa adalah agar kita tidak konsumtif, ulet menghadapi tantangan, senantiasa menaruh empati pada problem orang lain, mengedepankan moral dan nurani sebagai panduan hidup, dan selalu merasa dekat dengan Tuhan.

Jika nilai-nilai ini menjadi karakter bangsa, keberagamaan kita akan dirasakan sebagai rahmat, untuk menghapuskan kesan bahwa agama itu sumber pertengkaran, keganasan, dan sekadar peleburan dosa.
Selamat memasuki bulan suci, dengan hati, pikiran, dan perilaku yang juga suci!

(Oleh: Komaruddin Hidayat, Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta)