Friday, April 28, 2006

Lupakan Jasa & Kebaikan Diri

Semakin kita sering menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, lalu berharap agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya, maka semua ini berarti kita sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.
Ketahuilah bahwa semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak kita akan mengalami kekecewaan.
Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa ijin Allah.
Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan terkecewakan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk.

Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Allah.
Selayaknya kita menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud.
Sesungguhnya terpilih menjadi jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat ganjarannya.

Jadi, ketika ada seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter.
Maka, sebetulnya bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan.
Seharusnya dokter sangat berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya. Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan.
Maka selain memperlihatkan kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya. Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk orang yang merugi karena tidak beroleh pahala.

Juga, tidak selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan, mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa berhutang budi.
Sesungguhnya sang anak sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.
Percayalah bahwa kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan seorang ibu justru akan bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik.
Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.

Seorang guru atau karyawan senior juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada anak didik / juniornya.
Karena memang kewajibannya untuk mengajar dengan baik dan tulus.
Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur bukan ujub dan takabur.
Perlu lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar.
Biasanya akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.

Andaikata ada sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup dan bisa jalan dengan baik, namun ternyata sang supir sama sekali tidak berterima kasih, bahkan menengok ke arah kita pun tidak sama sekali.
Andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan dengan acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir.
Maka lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin.
Dan tentu saja amal pun jadi tidak berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap balasan dari makhluk.
Seharusnya yang kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini diijinkan Allah bisa mendorong mobil.
Silahkan bayangkan andaikata ada mobil yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya, niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil.

Frendz, seringkali kita merasa paling berperan ketika acara atau kegiatan yang kita selenggarakan berlangsung sukses.
Maka ketahuilah, saat lintasan hati itu timbul, saat itu pulalan amal yang kita tanam mulai terbakar habis hingga tak bersisa.
Mari kita bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak dan sesegera mungkin.
Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya.
Allah SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya.

Friday, April 21, 2006

Berpikir Sejak Bangun Tidur

Tidak diperlukan kondisi khusus bagi seseorang untuk memulai berpikir.
Bahkan bagi orang yang baru saja bangun tidur di pagi hari pun terdapat banyak sekali hal-hal yang dapat mendorongnya berpikir.
Saat bangun tidur, rasa capai atau kantuk seakan telah sirna.
Ketika berpikir akan hal ini, ia teringat sebuah firman Allah: "Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha." (QS. Al-Furqon, 25: 47)

Banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan dari sekedar memikirkan makanan apa yang dipunyainya untuk sarapan pagi. Dan pertama kali yang harus dipikirkan adalah bagaimana ia mampu bangun di pagi hari.
Kendatipun telah kehilangan kesadaran sama sekali sewaktu tidur, namun di keesokan harinya ia kembali lagi kepada kesadaran dan kepribadiannya.
Jantungnya berdetak, ia dapat bernapas, berbicara dan melihat.
Padahal di saat ia pergi tidur, tidak ada jaminan bahwa semua hal ini akan kembali seperti sediakala di pagi harinya.
Tidak pula ia mengalami musibah apapun malam itu.
Misalnya, kealpaan tetangga yang tinggal di sebelah rumah dapat menyebabkan kebocoran gas yang dapat meledak dan membangunkannya malam itu. Sebuah bencana alam yang dapat merenggut nyawanya dapat saja terjadi di daerah tempat tinggalnya.

Ia mungkin saja mengalami masalah dengan fisiknya.
Sebagai contoh, bisa saja ia bangun tidur dengan rasa sakit yang luar biasa pada ginjal atau kepalanya.
Namun tak satupun ini terjadi dan ia bangun tidur dalam keadaan selamat dan sehat. Memikirkan yang demikian mendorongnya untuk bersyukur kepada Allah atas kasih sayang dan penjagaan yang diberikan-Nya.
Memulai hari yang baru dengan kesehatan yang prima memiliki makna bahwa Allah kembali memberikan seseorang sebuah kesempatan yang dapat dipergunakannya untuk mendapatkan keberuntungan yang lebih baik di akhirat.
Ingat akan semua ini, maka sikap yang paling sesuai adalah menghabiskan waktu di hari itu dengan cara yang diridhai Allah.

Tubuh manusia yang demikian lemah ketika baru saja bangun dari tidur dapat mendorong manusia untuk berpikir: Setiap pagi ia harus membasuh muka dan membersihkan gigi.
Sadar akan hal ini, ia pun merenungkan tentang kelemahan-kelemahannya yang lain.
Keharusannya untuk mandi setiap hari, penampilannya yang akan terlihat mengerikan jika tubuhnya tidak ditutupi oleh kulit ari, dan ketidakmampuannya menahan rasa kantuk, lapar dan dahaga, semuanya adalah bukti-bukti tentang kelemahan dirinya. "Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (QS. Ar-Ruum, 30: 54)

Bagi orang yang telah berusia lanjut, bayangan dirinya di dalam cermin dapat memunculkan beragam pikiran dalam benaknya.
Ketika menginjak usia 20-an dari, tanda-tanda proses penuaan telah terlihat di wajahya.
Di usia 30-an, lipatan-lipatan kulit mulai kelihatan di bawah kelopak mata dan di sekitar mulutnya, kulitnya tidak lagi mulus sebagaimana sebelumnya, perubahan bentuk fisik terlihat di sebagian besar tubuhnya.
Ketika memasuki usia yang semakin senja, rambutnya memutih dan tangannya menjadi rapuh. Bagi orang yang berpikir tentang hal ini, usia senja adalah peristiwa yang paling nyata yang menunjukkan sifat fana dari kehidupan dunia dan mencegahnya dari kecintaan dan kerakusan akan dunia.
Orang yang memasuki usia tua memahami bahwa detik-detik menuju kematian telah dekat. Jasadnya mengalami proses penuaan dan sedang dalam proses meninggalkan dunia ini. Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai melemah kendatipun ruhnya tidaklah berubah menjadi tua.
Sebagian besar manusia sangat terpukau oleh ketampanan atau merasa rendah dikarenakan keburukan wajah mereka semasa masih muda.

Setiap saat ketika menghadapi segala kelemahannya manusia berpikir bahwa satu-satunya Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Besar serta jauh dari segala ketidaksempurnaan adalah Allah, dan iapun mengagungkan kebesaran Allah.
Allah menciptakan setiap kelemahan manusia dengan sebuah tujuan ataupun makna.
Termasuk dalam tujuan ini adalah agar manusia tidak terlalu cinta kepada kehidupan dunia, dan tidak terpedaya dengan segala yang mereka punyai dalam kehidupan dunia.
Seseorang yang mampu memahami hal ini dengan berpikir akan mendambakan agar Allah menciptakan dirinya di akhirat kelak bebas dari segala kelemahan.

Segala kelemahan manusia mengingatkan akan satu hal yang menarik untuk direnungkan: tanaman mawar yang muncul dan tumbuh dari tanah yang hitam ternyata memiliki bau yang
demikian harum.
Sebaliknya, bau yang sangat tidak sedap muncul dari orang yang tidak merawat tubuhnya. Khususnya bagi mereka yang sombong dan membanggakan diri, ini adalah sesuatu yang seharusnya mereka pikirkan dan ambil pelajaran darinya.

(Diambil dari karya Harun Yahya dalam bukunya "Deep Thinking")

Thursday, April 13, 2006

Saat Lapang & Sempit

Ada kalanya seseorang diposisikan oleh Allah ke dalam keadaan qabd (sempit) dan ia ingin segera hijrah ke posisi bast (lapang).
Betapa pun besarnya keinginan orang itu, jika suratan takdir Ilahi belum saatnya, maka ia akan tetap berada dalam kesempitan.
Semakin meronta untuk hijrah dari gelap ke terang, ia makin ''kesakitan''.
Bagaimana mungkin di malam yang pekat seseorang mencari secercah sinar matahari?
Itulah sebabnya, Syekh Atha'illah Asy-Syakandari dalam kitab Hikam-nya menerangkan bahwa saat qabd, seseorang hendaknya menenangkan dirinya dan bersabar menunggu fajar.
Dalam gelapnya malam, janganlah berharap mencari terangnya sinar matahari, tetapi hendaknya menikmati keadaan malam yang sesungguhnya yang tidak kalah dengan siang hari.

Memang, para tabi'ien dulu terinspirasi QS 3:190, ''Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.''

Mereka kemudian menafsirkan malam sebagai qabd dan siang adalah bast.
Karena Allah telah merumuskan terjadinya silih bergantinya malam dan siang (begitu juga sebaliknya), dengan demikian dua keadaan qabd dan bast adalah keniscayaan.

Para ulama tabi'ien dulu juga banyak yang menggali dua potensi tadi, yakni malam (qabd) dan siang (bast).

Ternyata, kesimpulan para ulama menyatakan bahwa keduanya memiliki potensi yang seimbang, baik kelebihan ataupun kelemahannya.

Pada siang hari, seseorang tentu bisa menikmati indah dan terangnya sinar matahari.

Tapi, dalam kondisi bast seperti itu, betapa banyak ''pejabat karbitan'' yang digiring masuk bui lantaran menikmati hasil korupsi?
Sebaliknya, di malam hari, seseorang bisa menikmati keindahan malam, seperti indahnya bulan dan bintang-gemintang, suasana romantis bagi suami-istri, dan seterusnya.

Namun, banyak pula rencana kejahatan dan kemungkaran yang dirancang pada malam hari.

Tak ayal jika kaum Muslim disunahkan membaca Surat Al Falaq dan An Naas, terutama di malam hari untuk menolak gangguan setan dan jin kafir.

Keadaan bast adalah pengejawantahan dari syukur, sedangkan qabd identik dengan kesabaran. Allah juga memberi kedua situasi tersebut kepada para nabi dan rasul-Nya.

Nabi Sulaiman AS yang telah dikaruniai-Nya beragam keistimewaan dan kelebihan, juga mengajari bagaimana cara bersyukur yang baik.

Kaum Muslimin pun banyak yang meniru dan ingin mendapat karunia seperti beliau.

Tapi sayang, mereka enggan mengikuti junjungan Nabi Muhammad SAW yang berdoa, ''Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai seorang miskin, matikanlah aku sebagai seorang miskin, dan bangkitkanlah aku kelak dalam kelompok orang-orang miskin.'' (Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir).

Tetapi, miskin yang dimaksud dalam hadis tersebut, menurut Dr Yusuf Qardhawi (Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW), adalah sikap tawadhu' dan rendah hati.

Memang demikianlah Rasulullah menjalani hidup sehari-hari, amat jauh dari takabur. (WS)

(Sumber: Hikmah Republika)

Wednesday, April 05, 2006

AA Gym, Bila Selalu Mengingat Mati

Sehalus-halus kehinaan di sisi ALLAH adalah tercerabutnya kedekatan kita dari sisi-Nya. Hal ini biasanya ditandai dengan kualitas ibadah yang jauh dari meningkat, atau bahkan malah menurun. Tidak bertambah bagus ibadahnya, tidak bertambah pula ilmu yang dapat membuatnya takut kepada ALLAH, bahkan justru maksiat pun sudah mulai dilakukan, dan anehnya yang bersangkutan tidak merasa rugi. Inilah tanda-tanda akan tercerabutnya nikmat berdekatan bersama ALLAH Azza wa Jalla.

Pantaslah bila Imam Ibnu Athoillah pernah berujar, "Rontoknya iman ini akan terjadi pelan-pelan, terkikis-kikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya tanpa terasa habis tandas tidak tersisa". Demikianlah yang terjadi bagi orang yang tidak berusaha memelihara iman di dalam kalbunya. Karenanya jangan pernah permainkan nikmat iman di hati ini.

Ada sebuah kejadian yang semoga dengan diungkapkannya di forum ini ada hikmah yang bisa diambil. Kisahnya dari seorang teman yang waktu itu nampak begitu rajin beribadah, saat shalat tak lepas dari linang air mata, shalat tahajud pun tak pernah putus, bahkan anak dan istrinya diajak pula untuk berjamaah ke mesjid. Selidik punya selidik, ternyata saat itu dia sedang menanggung utang. Karenanya diantara ibadah-ibadahnya itu dia selipkan pula doa agar utangnya segera terlunasi. Selang beberapa lama, ALLAH Azza wa Jalla, Zat yang Mahakaya dan Maha Mengabulkan setiap doa hamba-Nya pun berkenan melunasi utang rekan tersebut.

Sayangnya begitu utang terlunasi doanya mulai jarang, hilang pula motivasinya untuk beribadah. Biasanya kehilangan shalat tahajud menangis tersedu-sedu, "Mengapa Engkau tidak membangunkan aku, ya ALLAH?!", ujarnya seakan menyesali diri. Tapi lama-kelamaan tahajud tertinggal justru menjadi senang karena jadual tidur menjadi cukup. Bahkan sebelum azan biasanya sudah menuju mesjid, tapi akhir-akhir ini datang ke mesjid justru ketika azan. Hari berikutnya ketika azan tuntas baru selesai wudhu. Lain lagi pada besok harinya, ketika azan selesai justru masih di rumah, hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk shalat di rumah saja.

Begitupun untuk shalat sunat, biasanya ketika masuk mesjid shalat sunat tahiyatul mesjid terlebih dulu dan salat fardhu pun selalu dibarengi shalat rawatib. Tapi sekarang saat datang lebih awal pun malah pura-pura berdiri menunggu iqamat, selalu ada saja alasannya. Sesudah iqamat biasanya memburu shaf paling awal, kini yang diburu justru shaf paling tengah, hari berikutnya ia memilih shaf sebelah pojok, bahkan lama-lama mencari shaf di dekat pintu, dengan alasan supaya tidak terlambat dua kali. "Kalau datang terlambat, maka ketika pulang aku tidak boleh terlambat lagi, pokoknya harus duluan!" Pikirnya.

Saat akan shalat sunat rawatib, ia malah menundanya dengan alasan nanti akan di rumah saja, padahal ketika sampai di rumah pun tidak dikerjakan. Entah disadari atau tidak oleh dirinya, ternyata pelan-pelan banyak ibadah yang ditinggalkan. Bahkan pergi ke majlis ta'lim yang biasanya rutin dilakukan, majlis ilmu di mana saja dikejar, sayangnya akhir-akhir ini kebiasaan itu malah hilang.

Ketika zikir pun biasanya selalu dihayati, sekarang justru antara apa yang diucapkan di mulut dengan suasana hati, sama sekali bak gayung tak bersambut. Mulut mengucap, tapi hati malah keliling dunia, masyaallah. Sudah dilakukan tanpa kesadaran, seringkali pula selalu ada alasan untuk tidak melakukannya. Saat-saat berdoa pun menjadi kering, tidak lagi memancarkan keuatan ruhiah, tidak ada sentuhan, inilah tanda-tanda hati mulai mengeras.

Kalau kebiasaan ibadah sudah mulai tercerabut satu persatu, maka inilah tanda-tanda sudah tercerabutnya taupiq dari-Nya. Akibat selanjutnya pun mudah ditebak, ketahanan penjagaan diri menjadi blong, kata-katanya menjadi kasar, mata jelalatan tidak terkendali, dan emosinya pun mudah membara. Apalagi ketika ibadah shalat yang merupakan benteng dari perbuatan keji dan munkar mulai lambat dilakukan, kadang-kadang pula mulai ditinggalkan. Ibadah yang lain nasibnya tak jauh beda, hingga akhirnya meningallah ia dalam keadaan hilang keyakinannya kepada ALLAH. Inilah yang disebut suul khatimah (jelek di akhir), naudzhubillah. Apalah artinya hidup kalau akhirnya seperti ini. ***

Ada lagi sebuah kisah pilu ketika suatu waktu bersilaturahmi ke Batam. Kisahnya ada seorang wanita muda yang tidak bisa menjaga diri dalam pergaulan dengan lawan jenisnya sehingga dia hamil, sedangkan laki-lakinya tidak tahu entah kemana (tidak bertanggung jawab). Hampir putus asa ketika si wanita ini minta tolong kepada seorang pemuda mesjid. Ditolonglah ia untuk bisa melakukan persalinan di suatu klinik bersalin, hingga ia bisa melahirkan dengan lancar. Walau tidak jelas siapa ayahnya, akhirnya si wanita ini pun menjadi ibu dari seorang bayi mungil.

Sayangnya, sesudah beberapa lama ditolong, sifat-sifat jahiliyahnya kambuh lagi. Mungkin karena iman dan ilmunya masih kurang, bahkan ketika dinasihati pun tidak mempan lagi hingga akhirnya dia terjerumus lagi. Demikianlah kisah si wanita ini, ia kembali hamil di luar nikah tanpa ada pria yang mau bertanggung jawab.

Lalu ditolonglah ia oleh seseorang yang ternyata aqidahnya beda. Si orang yang akan membantu pun menawarkan bantuan keuangan dengan catatan harus pindah agama terlebih dulu. Si wanita pun menyetujuinya, dalam hatinya "Toh hanya untuk persalinan saja, setelah melahirkan aku akan masuk Islam lagi". Tapi ternyata ALLAH menentukan lain, saat persalinan itu justru malaikat Izrail datang menjemput, meninggalah si wanita dalam keadaan murtad, naudzhubillah. ***

Cerita ini nampaknya bersesuaian pula dengan sebuah kisah klasik dari Imam Al Ghazali.
Suatu ketika ada seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi muazin di sebuah menara tinggi di samping mesjid. Kebetulan di samping mesjid itu adapula sebuah rumah yang ternyata dihuni oleh keluarga non-muslim, diantara anak-anak keluarga itu ada seorang anak perempuan berparas cantik yang sedang berangkat ramaja.

Tiap naik menara untuk azan, secara tidak disengaja tatapan mata sang muazin selalu tertumbuk pada si anak gadis ini, begitu pula ketika turun dari menara. Seperti pepatah mengatakan "dari mata rurun ke hati", begitulah saking seringnya memandang, hati sang muazin pun mulai terpaut akan paras cantik anak gadis ini. Bahkan saat azan yang diucapkan di mulut Allahuakbar-Allahuakbar, tapi hatinya malah khusyu memikirkan anak gadis itu.

Karena sudah tidak tahan lagi, maka sang muazin ini pun nekad mendatangi rumah si anak gadis tersebut dengan tujuan untuk melamarnya. Hanya sayang, orang tua si anak gadis menolak dengan mentah-mentah, apalagi jika anaknya harus pindah keyakinan karena mengikuti agama calon suaminya, sang muazin yang beragama Islam itu. "Selama engkau masih memeluk Islam sebagai agamamu, tidak akan pernah aku ijinkan anakku menjadi istrimu" ujar si Bapak, seolah-olah memberi syarat agar sang muazin ini mau masuk agama keluarganya terlebih dulu.

Berpikir keraslah sang muazin ini, hanya sayang, saking ngebetnya pada gadis ini, pikirannya seakan sudah tidak mampu lagi berpikir jernih. Hingga akhirnya di hatinya terbersit suatu niat, "Ya ALLAH saya ini telah bertahun-tahun azan untuk mengingatkan dan mengajak manusia menyembah-Mu. Aku yakin Engkau telah menyaksikan itu dan telah pula memberikan balasan pahala yang setimpal. Tetapi saat ini aku mohon beberapa saat saja ya ALLAH, aku akan berpura-pura masuk agama keluarga si anak gadis ini, setelah menikahinya aku berjanji akan kembali masuk Islam". Baru saja dalam hatinya terbersit niat seperti itu, dia terpeleset jatuh dari tangga menara mesjid yang cukup tinggi itu. Akhirnya sang muazin pun meninggal dalam keadaan murtad dan suul khatimah. ***

Kalau kita simak dengan seksama uraian-uraian kisah di atas, nampaklah bahwa salah satu hikmah yang dapat kita ambil darinya adalah jikalau kita sedang berbuat kurang bermanfaat bahkan zhalim, maka salah satu teknik mengeremnya adalah dengan 'mengingat mati'. Bagaimana kalau kita tiba-tiba meninggal, padahal kita sedang berbuat maksiat, zhalim, atau aniaya? Tidak takutkah kita mati suul khatimah? Naudzhubillah. Ternyata ingat mati menjadi bagian yang sangat penting setelah doa dan ikhtiar kita dalam memelihara iman di relung kalbu ini. Artinya kalau ingin meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, maka selalulah ingat mati.

Dalam hal ini Rasulullah SAW telah mengingatkan para sahabatnya untuk selalu mengingat kematian. Dikisahkan pada suatu hari Rasulullah keluar menuju mesjid. Tiba-tiba beliau mendapati suatu kaum yangsedang mengobrol dan tertawa. Maka beliau bersabda, "Ingatlah kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis."

Dan ternyata ingat mati itu efektif membuat kita seakan punya rem yang kokoh dari berbuat dosa dan aniaya. Akibatnya dimana saja dan kapan saja kita akan senantiasa terarahkan untuk melakukan segala sesuatu hanya yang bermanfaat. Begitupun ketika misalnya, mendengarkan musik ataupun nyanyian, yang didengarkan pasti hanya yang bermanfaat saja, seperti nasyid-nasyid Islami atau bahkan bacaan Al Quran yang mengingatkan kita kepada ALLAH Azza wa Jalla. Sehingga kalaupun malaikat Izrail datang menjemput saat itu, alhamdulillah kita sedang dalam kondisi ingat kepada ALLAH. Inilah khusnul khatimah.

Bahkan kalau kita lihat para arifin dan salafus shalih senantiasa mengingat kematian, seumpama seorang pemuda yang menunggu kekasihnya. Dan seorang kekasih tidak pernah melupakan janji kekasihnya. Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah r.a. bahwa ketika kematian menjemputnya, ia berkata, "Kekasih datang dalam keadaan miskin. Tiadalah beruntung siapa yang menyesali kedatangannya. Ya ALLAH, jika Engkau tahu bahwa kefakiran lebih aku sukai daripada kaya, sakit lebih aku sukai daripada sehat, dan kematian lebih aku sukai daripada kehidupan, maka mudahkanlah bagiku kematian sehingga aku menemui-Mu."

Akhirnya, semoga kita digolongkan ALLAH SWT menjadi orang yang beroleh karunia khusnul khatimah. Amin! ***