Wednesday, February 22, 2006

Memaafkan, Derajat Kemuliaan Diri

Frendz, ingat gak kisah saat Rasulullah menolak bantuan yang ditawarkan Jibril buat menimpakan gunung pada masyarakat Thaif yang telah menghina Rasulullah dan para sahabat? Kala itu, Rasul membalas perlakuan masyarakat Thaif hanya dengan memaafkan mereka.
Sebuah sikap bijak yang jadi salah satu bukti betapa Rasulullah sangat pemaaf.
Kisah lain menunjukkan saat beliau menjadi orang pertama yang menjenguk seorang Quraisy kala sakit, meski sebelumnya tak bosan-bosannya meludahi Rasulullah tiap hari.
Sungguh Allah-lah yang mampu memelihara hati sedemikian suci, jiwa sebegitu besar.

Memaafkan, menjadi kata yang yang mudah diucapkan, namun teramat sulit untuk dilakukan.

Kita mungkon pernah merasa tersakiti karena canda yang dilontarkan seorang teman.
Sakit hati yang menyebabkan sangat sulit berkonsentrasi.
Berhari-hari, bahkan berbilang minggu, rasa itu masih belum hilang juga.
Sulit sekali rasanya untuk memaafkan, meskipun memaafkan menjadi jalan untuk melupakan yang sudah terjadi, mengambil hikmahnya, juga menjalankan kehidupan kembali normal.

Andrew Matthews, penulis buku Being Happy, menuliskan bahwa dengan tidak memaafkan orang yang menyakiti kita, satu-satunya orang yang akan dirugikan adalah diri kita sendiri.

Tidak memaafkan berarti akan menghancurkan hidup kita karena pikiran akan selalu terbawa emosi, sakit hati & kecewa.
Dengan memaafkan seseorang, bukan berarti kita setuju dengan apa yang mereka lakukan.
Mereka mungkin salah meskipun tidak mereka sadari dan merekapun gak perlu buat minta maaf.

Merenungi makna subhanallah, kita tahu bahwa hanya Allah Swt yang Maha Suci, sementara manusia adalah tempat salah dan alpa.

Seorang bijak pernah berkata, kesempurnaan manusia adalah dengan ketidaksempurnaannya. Allah Swt berfirman dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 134: “... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang”.
Dengan demikian, Allah Swt menyukai orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan orang lain.

Memaafkan, bukan hanya merupakan sikap mulia sesuai pesan Nabi Muhammad Saw, tapi juga baik bagi kesehatan dan ketenangan jiwa.

Hidup kita mudah-mudahan akan berjalan dengan lebih baik karena kita tidak disibukkan dengan perasaan kecewa dan sakit hati atas perbuatan orang lain.
Seperti yang dicontohkan Nabi, memaafkan seseorang tidak akan menurunkan derajat orang yang memaafkan di mata orang yang melakukan kesalahan
So, maafkan kesalahan orang lain meski mereka gak mengakui apapun kesalahannya.

(makasih buat Tamsil atas lukisannya)

Thursday, February 16, 2006

Berdiam Diri

"Barang siapa yang banyak perkataannya, niscaya banyaklah kilafnya. Barang siapa yang banyak kilafnya, niscaya banyaklah dosanya. Dan barang siapa yang banyak dosanya, niscaya Neraka lebih utama baginya". ( Riwayat Abu Naim )

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam". ( Riwayat Bukhari & Muslim )

"Barang siapa diam maka ia terlepas dari bahaya". ( Riwayat At-Tirmidzi )

Apa seh maksudnya?
Bicara yang baik akan membawa keselamatan dan kebaikan kepada manusia, jika bicara tidak mengikut adabnya, manusia akan merana di dunia dan di akhirat.

Manusia yang tidak menjaga bicara akan dibenci oleh manusia lain manakala di akhirat bicara yang menyakiti hati orang lain akan menyebabkan kita terseksa di dalam Neraka Allah SWT.

Bagi mereka yang beriman, lidah yang dikurniakan oleh Allah itu tidak akan digunakan untuk berbicara sesuka hati dan sia-sia.

Lidah hendaklah digunakan untuk mengeluarkan mutiara-mutiara yang berhikmah.

Diam adalah benteng bagi lidah manusia daripada mengucapkan perkataan yang sia-sia.

Sekiranya kita tidak dapat bercakap ke arah perkara-perkara yang baik, maka jalan yang terbaik ialah diam.

Bicara yang baik adalah lambang hati yang baik dan bersih yang bergantung kepada kekuatan iman pada diri seseorang.

Hikmah dari berdiam diri:
Sebagai ibadah tanpa bersusah payah.
Perhiasan tanpa berhias.
Kehebatan tanpa kerajaan.
Benteng tanpa pagar.
Kekayaan tanpa meminta maaf kepada orang.
Istirahat bagi kedua malaikat pencatat amal.
Menutupi segala aib.
Banyak diam tidak semestinya bodoh, banyak bicara tidak semestinya cerdik, kerana kecerdikan itu buah fikiran, orang cerdik yang pendiam lebih baik dari orang bodoh yang banyak cakap.
Menasihati orang bersalah, tidak salah.
Yang salah memikirkan kesalahan orang.
Kalau orang menghina kita, bukan kita yang terhina, sebenarnya orang itu yang menghina dirinya sendiri.
Manusia tidak akan dapat mengalahkan syaitan kecuali dengan diam.

(sumber: dari berbagai)

Friday, February 10, 2006

Jadikan Keridhaan Dengan Mengosongkan Hati

''Ridhalah dengan apa yang dibagikan Allah SWT untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya.'' (HR Turmudzi).
Penggalan hadis Rasulullah SAW di atas merupakan bentuk nyata betapa susahnya menumbuhkan rasa qanaah atau merasa cukup.

Hadis itu mengandung maksud orang paling kaya adalah mereka yang qanaah atas apa pun pemberian Allah SWT.
Betapa positif dan bermartabatnya hidup ini bila seseorang selalu merasa ridha dan cukup dengan segala kondisinya.
Dengan qanaah, yang sedikit akan menjadi banyak dan yang banyak akan menjadi berkah.

Kesenangan tidak akan sempurna dan nikmat tidak akan menjadi besar kecuali dengan memutuskan angan-angan memiliki seperti yang dimiliki orang lain.

Memang sebagai pebisnis maupun profesional kita harus bermimpi setinggi langit.
Mimpi hanya akan menjadi harapan apabila disertai usaha yg sungguh-sungguh disertai tawakal kapada-Nya, namun hanya akan menjadi angan-angan apabila didominasi nafsu dan keinginan semata.
Yang terpenting dan bernilai di hadapan Allah adalah apa yang kita kerjakan dan bagaiamana sikap kita menghadapinya, bukan pencapaian mimpi itu sendiri.

Sikap tidak menerima atas apa yang telah dimiliki, hanya akan menguras keterkaitan hati dengan Allah SWT.

Akibatnya, kehidupan yang sebenarnya tidak akan bisa dirasakan.
Allah SWT berjanji kepada orang yang hatinya dipenuhi keridhaan akan memenuhi hatinya dengan kekayaan, rasa aman, penuh dengan cinta, dan tawakkal kepada-Nya.
Sebaliknya, bagi yang tidak ridha, hatinya akan dipenuhi dengan kebencian, kemungkaran, dan sikap durhaka.

Pantaskah sebagai seorang hamba mengaku kekurangan, sementara pada waktu yang sama, kita masih memiliki akal.

Andai kata akal itu dibeli orang atau menukarnya dengan emas dan perak sebesar gunung, kita pasti enggan menerimanya.
Kita memiliki dua mata yang sekiranya dibayar dengan permata sebesar Gunung Uhud, pasti tidak rela.
Saat ini banyak orang enggan mengakui dan menyebut dirinya orang paling kaya.
Kekayaan hanya mereka ukur dengan materi, banyaknya harta, dan pangkat yang tinggi.

Bersyukurlah atas nikmat hidayah Islam, akal, kesehatan, pendengaran, penglihatan, rezeki, keluarga, penutup (aib), dan nikmat lain yang tak terhitung.

Sebab, di antara manusia itu ada yang kufur, hilang akalnya, terampas kesehatannya, dipenjara, dilumpuhkan, atau ditimpakan bencana.

Kini saatnya untuk menyadari bahwa kita sebenarnya adalah orang yang paling kaya. Bersyukurlah dengan apa yang kita miliki, sehingga hidup lebih bermakna, berkah, serta lebih berarti.

Jadikanlah keridhaan itu dengan mengosongkan hati dari berbagai sangkaan dan membiarkannya hanya untuk Allah SWT.

Tuesday, February 07, 2006

Kekuatan Cinta

Kekuatan cinta memang luar biasa.
Orang yang jatuh cinta akan rela mengorbankan apa saja demi yang ia cintai.
Cinta menjadikan segalanya indah, meski harus dilalui dengan penderitaan.

Kekuatan cinta itulah yang menjadikan Bilal bin Rabbah lebih memilih dijemur di padang pasir yang panas daripada harus kembali kafir, meski sebongkah batu besar menindih hingga nyaris meremukkan tulang dadanya.

Dengan tenang ia menyebut nama kekasihnya, ''Ahad, Ahad, Ahad.''
Begitu pula dengan Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya sahabat Rasulullah SAW.
Ia rela menghabiskan hartanya untuk kepentingan jihad fisabilillah.
Semuanya atas dasar cinta.

Sahabat lainnya juga merasakan betapa dahsyatnya kekuatan cinta itu.

Mereka rela berhijrah ke Madinah dengan berjalan kaki bermil-mil jauhnya, melintasi padang pasir yang kering dan panas demi menyelamatkan akidah.
Karena cintanya pada Allah SWT, dengan gagah berani mereka bergegas pergi ke medan perang.
Tanpa rasa takut, harta, darah, dan nyawa, mereka pertaruhkan dengan tebasan pedang dan tombak demi membuktikan cintanya yang tulus.
Cinta melahirkan pengorbanan dan prioritas.

Bukti cinta kepada Allah bukanlah hanya cerita masa lalu.

Saat ini kitapun bisa menyaksikan saudara-saudara kita yang begitu mencintai Allah, meski harta dan nyawa taruhannya.
Saya teringat kisah beberapa saudara kita di Medan yang begitu mendengar musibah Tsunami di Aceh, mereka langsung pergi membawa sepeda dan bekal secukupnya untuk menyelamatkan umat yang tersisa.
Begitu menempuh medan yang tak mungkin dilalui kendaraan, merekapun segera mengayuh sepeda bermil-mil untuk mencapai daerah bencana, meski tak satupun pers meliputnya. Bahkan ada seorang sukarelawan dari Jakarta yang sampai diamputasi tangannya setelah mengangkat beberapa jenazah sehingga tangannya terkena panyakit.

Mungkin kita pernah menjumpai seorang pedagang, karyawan, sopir, yang secara penghasilan sangat pas-pasan bahkan mungkin "terdzalimi" namun mereka tetap bertahan di tempat kerjanya hanya karena alasan dakwah.

"Kalo bukan kita yang mengurus umat di sini, siapa lagi?" begitu kata mereka.
Padahal mungkin mereka bisa pindah ke tempat yang lebih "basah" dan mengejar harta di tempat lain.
Rasanya tak ada motivasi lain pada diri mereka, selain karena mencintai Allah.

Sungguh jika kita mencintai Allah, maka Allah pun akan mencintai dan menolong kita.

Jika kita mencintai Allah, niscaya kita rela mengorbankan segalanya dengan pengorbanan yang terbaik.
Jika benar mencintai Allah SWT, niscaya kita mengambil dunia ini hanya sekadarnya.
Mencari harta bukan untuk bermegah-megahan, tapi sebagai sarana ibadah.
Jika benar mencintai Allah, niscaya kita akan bergegas wudhu ketika adzan dikumandangkan, karena hakikat adzan adalah panggilan Sang Kekasih.
Jika benar mencintai Allah SWT, tentu setiap sepertiga malam kita bangun mengerjakan shalat tahajud, meski lelah, kantuk, dan dingin mendera.
Jika kita memang mencintai Allah, tentu kita akan peduli terhadap kondisi akidah dan kesejahteraan umat.

Ibadah tanpa didasari cinta akan terasa berat dan sia-sia.

Sebagai orang yang mengaku beriman, betulkan kita sudah mencintai Allah?
Sudah sejauh mana kita mencintai-Nya melebihi cinta kita kepada yang lain?

Surga adalah kado terindah yang akan diterima oleh orang yang mencintai Allah pada saat perjumpaan pertamanya dengan Sang Kekasih.


''Katakanlah (hai Muhammad), jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.'' (QS. Ali-Imran: 31).

Friday, February 03, 2006

Tahajjud Penenang Hati

Allah SWT berfirman, ''Dan pada sebagian malam, bershalat Tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.'' (QS. Al-Israa': 79).

Firman Allah ini merupakan salah satu dasar anjuran disyariatkannya shalat Tahajud.
Bahkan, shalat Tahajud menduduki posisi kedua setelah shalat wajib.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Shalat yang manakah yang paling utama setelah shalat wajib?''
Rasulullah SAW menjawab, ''Shalat Tahajud!'' (HR Muslim).

Tahajud sendiri artinya bangun dari tidur.

Dengan demikian, shalat Tahajud adalah shalat yang dikerjakan di malam hari dan dilaksanakan setelah tidur terlebih dahulu, walaupun tidurnya hanya sebentar.
Shalat Tahajud yang dilakukan di tengah malam, di mana kebanyakan manusia terlelap dalam tidurnya dan berbagai aktivitas hidup berhenti, serta suasana begitu hening, sunyi, dan tenang, sangat menunjang konsentrasi seseorang yang akan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Di samping kondisi eksternal ini, juga terdapat kondisi internal, yaitu sebuah ketenangan yang dirasakan oleh batin manusia yang melakukan shalat Tahajud.

Ketenangan dan ketenteraman yang diperoleh oleh seseorang yang melakukan shalat Tahajud memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi.

Sebab, dalam shalat Tahajud terdapat dimensi dzikrullah (mengingat Allah).
Ini sebagaimana firman Allah SWT, ''(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.'' (QS. Ar-Ra'd: 28).
Bila kita ingin mendapatkan rasa tenang dan tenteram, maka berdekat-dekatlah kepada Dia Yang Mahatenang dan Mahatenteram, agar sifat-sifat itu mengimbas kepada kita.

Shalat Tahajud yang dikerjakan dengan ikhlas, selain mendapatkan pahala, juga akan mampu mengurangi beban kejiwaan yang sedang menyelimuti seseorang.

Allah SWT berfirman, ''Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari.'' (QS. Al-Muzammil: 1-2).
Kata berselimut dalam ayat di atas secara kontekstual dapat diartikan dengan orang yang sedang dirundung masalah: kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran, atau ketakutan karena menghadapi berbagai kemungkinan yang menimpanya.
Sebab, ayat tadi turun setelah Rasulullah SAW mulai mendapatkan olok-olok dan ancaman dari kaum Quraisy.

Shalat Tahajud merupakan kebutuhan dalam menghadapi problem kehidupan yang pasti menimpa semua orang.

Rasulullah SAW bersabda, ''Kalian harus mengerjakan shalat malam, sebab itu kebiasaan orang-orang saleh sebelummu, jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, penebus dosa dan kejelekan, serta penangkal penyakit dari badan.'' (HR Tirmidzi).

***
Saat dosa dan masalah selalu bertambah.

Saat lelah, resah dan gelisah mendominasi diri ini…
Masihkah kita begitu angkuh untuk mencurahkan isi hati dan memohon pertolongan-Nya di penghujung malam?
Generasi shalafus shaleh banyak yang mendapat masalah dengan cemohan bahkan siksaan kaumnya, apalagi masalah dengan kehidupan ekonomi dan keluarganya.
Mereka merindukan shalat di penghujung malam sehingga hati mereka menjadi tenteram dan semangat hidup tumbuh kembali.
Masihkah kita mengandalkan tidur yang panjang, yoga, semedi, dan pernafasan tenaga dalam sebagai sandaran untuk menentramkan hati ini?

(Sumber: Republika)